Wednesday, March 14, 2012

judul 6


“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” Matius 5:8

HATI YANG TULUS DAN PERCAYA;
ITULAH KEHIDUPAN YANG BERBAHAGIA!
By. Frany P Kuron

Orang yang suci hatinya? Pasti kita langsung berpikir bahwa ucapan Yesus ini ditujukan kepada orang-orang yang tanpa dosa. Orang-orang yang hidup alim, rajin ke gereja, penatua, syamas, dan pendeta. Betul! Tidak juga. Rajin ke gereja, penatua, syamas dan pendeta bukan berarti tidak pernah berbuat dosa. Lupakah kita bahwa setiap orang adalah manusia berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Allah? Dalam Roma 3:23 dituliskan; “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.
Suci hatinya menunjuk pada hati yang terang, ikhlas, hati yang ditujukan kepada Tuhan, hati yang percaya. Hati yang penuh dengan ketulusan untuk mengaku diri sebagai manusia berdosa, dan datang meminta pengampunan kepada Allah. Menunjuk pada orang-orang yang merasa dan mengaku diri sebagai orang-orang berdosa, dan hidup hanya oleh anugerah Allah. Orang yang suci hatinya adalah orang yang tulus membagi kasih tanpa mengharapkan imbalan atau pujian.
Ucapan Yesus ini sebenarnya merupakan sebuah kritikan terhadap mereka yang merasa diri tanpa dosa. Mereka yang merasa diri dapat mengejar keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri; dengan menjalankan praktek-praktek keagamaan. Pada zaman ketika Yesus berkarya di dalam dunia, banyak orang yang merasa diri sanggup mengejar keselamatan/ kemurahan Allah dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Mereka merasa diri memiliki kelebihan rohani; memiliki kebenaran sejati. Mereka sangat rajin beribadah, rajin berdoa, rajin membawa persembahan kepada Tuhan bahkan tahu banyak mengenai Taurat Tuhan dan selalu berusaha menjalankannya. Namun, tindakan keagamaan yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan sikap yang mereka tunjukkan. Mereka mengganggap orang lain tidak pantas bahkan tidak mungkin mendapatkan kemurahan Allah karena tidak mampu menunjukkan ketaatan seperti yang mereka lakukan. Lebih parahnya lagi, motivasi mereka menjalankan upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh pujian dan pengakuan.
Bagi Yesus, mengandalkan diri sendiri dalam mengejar keselamatan/ kemurahan Allah adalah bentuk kesombongan rohani. Yesus tidak menginginkan umat-Nya bagaikan buah “kadondong” yang kelihatan licin, dan mulus di luar tapi di dalamnya penuh dengan duri; atau bagaikan sebuah gedung gereja yang megah tapi anggota jemaatnya kurang memberi diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah; atau pula seperti kantor dengan gedung yang mewah namun situasi dan keadaan di dalamnya tidak nyaman bahkan hampir bangkrut. Hanya Alim dan suci dari penampilannya saja. Yesus tidak menginginkan kita kelihatan baik hanya pada luarnya saja, tapi dia ingin ketulusan dari lubuk hati terdalam yang tentu saja bermuara pada sikap hidup yang baik ketika berkarya di dalam dunia.
Ibarat mendirikan rumah, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah pondasinya yang kokoh, baru kemudian dipoles menjadi rumah yang indah. Bagaimana jadinya sebuah rumah yang pondasinya dibuat asal-asalan? Walaupun indah dipandang tapi menyimpan “bom waktu” yang siap meledak. Begitu juga dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya, yang harus dibangun dahulu adalah ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Hati yang tulus dan percaya! Itulah pondasi yang paling kokoh. Kemudian diwujud nyatakan lewat sikap dan tidakan hidup yang baik dan berkenan kepada Allah.
Marilah kita sejenak merenung. Pernahkan kita merasa bahwa memberikan persembahan adalah sebuah beban? jika pernah, hal itu terjadi karena kita menganggap persembahan adalah sebuah kebiasaan yang harus diberikan oleh anggota jemaat. Lebih parah lagi, jika kita memberi supaya memperoleh pujian. Persembahan berubah menjadi beban karena dilandasi oleh motivasi yang keliru. Motivasi yang keliru ini berdampak pada kerelaan memberikan persembahan; yang diberikan hanya sisi-sisa dari pengeluaran keuangan selama seminggu. Jadilah persembahan sebagai sebuah beban. Akan berbeda jika kita memberi didasarkan pada hati yang tulus sebagai respon atas anugerah Tuhan dalam kehidupan kita. Maka, persembahan yang kita berikan bukan menjadi sebuah beban tapi suatu kebahagiaan; Memberikan yang terbaik kepada Tuhan bukan memberikan sisa uang belanjaan.
Aktif dalam kegiatan gereja, rajin menyumbang di gereja dan rajin memberikan persembahan; bahkan memberikan persembahan persepuluhan secara rutin, itu baik! Sangat baik malah, namun bukan yang utama. Yang terutama adalah ketulusan hati kita, kemudian tindakan yang dilakukan. Hati yang tulus dan ikhlas untuk memberi yang terbaik kepada Allah, kemudian bermuara pada tindakan pemberian kita.
Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan. Mengakui sebagai manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah, itulah kebahagiaan yang sejati. 
Akhirnya, janji Allah, “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”. (FPK)




“Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan” (FPK)

No comments:

Post a Comment