Wednesday, March 14, 2012

judul 12


(Mazmur 1:1-6)
Jalan orang benar dan jalan orang fasik
(1) Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
Yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
(2) tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
(3) Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya,
Dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
(4) Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
(5) Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman,
begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
(6) Sebab Tuhan mengenal jalan orang benar,
Tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.

ANDA PILIH YANG MANA?
By. Leidy asterina Lontaan

Memulai perenungan ini, semoga Anda tidak keberatan kalau saya mengajak kita untuk menyanyikan lagu ini: “Di dalam dunia ada dua jalan: lebar dan sempit; mana kau pilih?...” Anak-anak Sekolah Minggu paling hafal dengan lagu ini. Liriknya sederhana dan barangkali terdengar kurang menarik di telinga orang dewasa. Tetapi sesungguhnya, lagu yang mengalir dari mulut polos anak-anak ini merupakan suatu pernyataan sekaligus pertanyaan yang senantiasa diperhadapkan kepada kita. Bukan hanya anak-anak yang perlu belajar memilih jalan, orang dewasa pun kadang belum mampu menentukan jalan hidupnya, sehingga harus selalu diingatkan untuk memilih satu di antara dua jalan yang ditawarkan oleh firman Tuhan. Jalan apakah itu? Kita mungkin berebutan menjawab: Jalan orang benar dan jalan orang fasik. Kalau anda menjawab persis seperti itu, berarti anda mencontek judul yang diberikan LAI untuk Mazmur pasal 1 ini.
            Tapi tunggu dulu, kita kembali dulu pada topik perenungan kita. Berbicara tentang dua jalan, sebenarnya bukan hal yang mengejutkan lagi. Hidup-mati; kebaikan-kejahatan; keadilan-kelaliman; berkat-kutuk, dan sebagainya. Itu hal-hal yang umum. Setiap hari pun kita mendengarnya. Namun memang alangkah baiknya bila kita akhirnya terkejut setelah membaca dan merenungkan tulisan ini. Orang dewasa sering merasa mapan dengan pemikirannya, mantap dalam keputusan yang diambilnya serta bijak dalam setiap langkah yang ditempuhnya. Matangnya usia, pekerjaan yang menjanjikan, materi yang memadai, jabatan yang bergengsi, terkadang dijadikan dasar untuk merasa tidak perlu belajar lagi. Tidak perlu terkejut dengan hal-hal umum seperti itu, apalagi belajar dari lagu anak Sekolah Minggu. Malu-maluin, kata orang Jawa. Namun inilah pernyataan paling jujur sedunia. Hanya ada dua jalan. Dan kita tidak bisa menjalani kedua-duanya. Wajib pilih. Hanya satu jalan saja yang harus kita pilih. Mana kau pilih? Jawaban atas pertanyaan ini adalah keputusan yang sangat menentukan jalan hidup kita. Makna hidup sangat tergantung pada pilihan kita. Jangan sampai kita salah pilih.
            Setiap hari kita selalu diperhadapkan pada pilihan dan pengambilan keputusan. Mulai dari yang sederhana, seperti memilih pakaian yang akan kita kenakan, sampai pada pilihan yang berskala dan berdampak besar, misalnya memilih pasangan hidup. Pemazmur memperhadapkan kita pada dua pilihan besar yang terjabar dalam pilihan-pilihan sederhana setiap hari. Mana yang akan kita pilih: menjadi orang benar atau orang fasik? Pastinya tidak ada yang ingin menjadi orang fasik. Kalau yang memilih berdiri di tengah banyak. Netral, tapi suam-suam kuku. Tidak punya pendirian. Tidak ingin disebut fasik, tapi enggan menjadi orang benar. Banyak yang seperti itu, termasuk mereka yang rajin mengikuti ibadah dan aktif dalam pelayanan. Dari luar kelihatan saleh, tapi di dalam menyimpan kebusukan. Munafik. Tapi kita tentu tidak akan menghakimi orang-orang seperti itu.
 “Berbahagialah...” demikian pemazmur memulai seruannya. Seruan ini mengandung nasihat yang sarat dengan pengajaran. Pemazmur seperti berdiri di atas mimbar dan menyerukan kabar yang melegakan kepada jemaatnya. Siapa yang tidak ingin disebut berbahagia? Jujur saja, ini adalah dambaan setiap orang. Kebahagiaan malah sering dipandang segala-galanya dalam hidup. Apa sih tujuan hidup kita kalau bukan untuk meraih bahagia, demikian ungkap sebagian besar orang. Tetapi dalam bentuk apakah sebenarnya kebahagiaan yang sejati itu?
Alangkah sayangnya bila kebahagiaan itu diletakkan setara dengan hal-hal duniawi. Kekayaan. Kesuksesan. Kepintaran. Kekuasaan. Kehormatan. Tentu tidak salah memperoleh semuanya itu. Yang keliru ialah ketika hal-hal itu kita jadikan ukuran untuk sebuah kebahagiaan. Sebaliknya, sungguh tidak adil bila kehidupan yang sarat dengan persoalan lantas dijadikan patokan untuk ketidak-bahagiaan. Anda mungkin protes dengan pernyataan saya ini. Hidup dengan berbagai problema, persoalan silih berganti, kegagalan demi kegagalan, keterpurukan; apakah kehidupan yang seperti itu masih dapat dikatakan berbahagia? Tentu tidak! Demikian jawab Anda. Yang sesungguhnya, ini hanyalah masalah cara pandang.
            Hidup yang bahagia bukanlah hidup dengan memungkiri kenyataan. Sebaliknya, hidup bahagia itu adalah suatu kehidupan yang realistis. Kita mengakui kenyataan yang ada. Kita menerima setiap keadaan. Kita mengharapkan yang terbaik namun tetap bersiap untuk yang terburuk. Sangat sederhana sekaligus rumit. Mengapa? Karena realistis menurut ukuran duniawi berbeda dengan realistis-nya kita selaku umat yang mengaku percaya kepada Allah.
            Realistis secara duniawi cenderung menghasilkan pandangan yang sempit. Ketika gagal, orang tidak mau berusaha lagi. Ia berpikir bahwa hanya sebatas itulah kemampuannya. Ia tidak berani untuk mencoba karena menganggap kegagalannya sebagai realitas paten yang tidak bisa diubah. Ini semua nasib, tidak ada gunanya melawan, lebih baik pasrah saja. Jelas ini bukan pandangan yang alkitabiah. Realistis secara duniawi juga dapat menjebak orang pada perilaku hidup yang buruk tanpa merasa bersalah. It’s me. Inilah aku. Aku adalah aku. 
Berbicara tentang kebahagiaan, pandangan setiap orang pasti berbeda-beda. Ukuran kebahagiaan itu pun beragam. Ada yang melihat kebahagiaan berasal dari gemerlapnya harta. Ada yang memahami kebahagiaan sebagai kesuksesan meraih impian. Dan ada pula yang menghayati kebahagiaan ketika berada dalam situasi yang nyaman dan melegakan. Pemazmur sendiri memandang kebahagiaan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bagi pemazmur, orang-orang yang dikatakan berbahagia ialah orang-orang yang berani melawan arus; bergaul dengan orang-orang berkelakuan buruk tetapi tidak ikut berperilaku buruk. Ikan yang hidup di air asin saja tidak ikut menjadi asin. Harus punya pendirian. Harus punya prinsip agar tidak ikut-ikutan, iko rame, kata orang Manado.
Lalu apa dasar dari pendirian kita? Tidak salah lagi, firman Tuhan! Taurat Tuhan, menurut bahasa pemazmur. Prinsip hidup itu kita dapat dari merenungkan firman Tuhan siang dan malam. Apa artinya ini? Bukan membaca Alkitab secara maraton dari pagi buta sampai malam bisu. Bukan pula membaca Alkitab seperti tukang ojek mengejar setoran, hari ini saya harus selesai membaca Kejadian sampai Maleakhi. Titik. Jangankan sampai Maleakhi, masih di Imamat saja Anda mungkin sudah bosan. Belum lagi selesai Tawarikh, Anda sudah garuk-garuk kepala dengan muka berkerut. Hasilnya, Anda kecapean sendiri. Ngos-ngosan.
Membaca Alkitab tidak perlu buru-buru. Kita tidak sedang syuting film streeping yang kejar tayang. Tuhan juga tidak menetapkan deadline untuk hal yang satu ini. Yang terpenting ialah, apakah kita mendapatkan sesuatu dari bagian Alkitab yang kita baca dan renungkan atau tidak. Dan apakah yang kita dapatkan itu benar-benar membuat kita menjadi lebih baik dari hari ke hari, atau justru tidak berpengaruh apa-apa dalam hidup kita. Ini yang patut dipertanyakan. Jangan-jangan mutiara itu sudah dilemparkan kepada babi. Saya tidak memaki. Ini kenyataan. Firman Tuhan adalah seperti mutiara yang berharga. Apa artinya jika hal berharga ini justru tidak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan kita? Tidak ada gunanya. Useless.
Merenungkan firman Tuhan siang dan malam semestinya membuat kita menjadi lebih bijak, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap dan tingkah laku kita. Itulah sebabnya begitu indah gambaran yang dipakai pemazmur, “Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” Inilah kunci keberhasilan, tetapi juga kunci kebahagiaan. Orang fasik tidak akan mengalami hal seperti ini. Jalan yang mereka tempuh bermuara pada kebinasaan. Sangat kontras. Demikianlah perbedaan antara orang benar dan orang fasik.
Kalau demikian, Anda pilih yang mana? Jalan hidup kita akan ditentukan berangkat dari jawaban kita atas pertanyaan ini. Tentu saja kita bebas memilih. Kebahagiaan itu adalah pilihan dan kebahagiaan kita terletak di tangan kita sendiri. Kini saatnya mengambil keputusan. Waktu anda tidak banyak. Sadarilah kenyataan ini dan terkejutlah: Hidup ini singkat! Tapi justru dalam hidup yang singkat inilah kita menentukan jalan yang akan kita tempuh selamanya. (LAL)





Bukan membaca Alkitab secara maraton dari pagi buta sampai malam bisu. Bukan pula membaca Alkitab seperti tukang ojek mengejar setoran, hari ini saya harus selesai membaca Kejadian sampai Maleakhi. Titik. (LAL)

No comments:

Post a Comment