Wednesday, March 14, 2012

judul 11


“Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicelah dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu”. Matius 5:11-12.

AH, YANG BENAR SAJA, TUHAN!
By. Leidy Asterina Lontaan

            Ucapan bahagia yang terakhir ini mungkin paling tidak masuk akal. Orang yang berpikir rasional pasti menganggap ini ucapan dari seorang yang tidak waras. Bagaimana mungkin orang yang menderita ter-aniaya dapat disebut berbahagia? Ini sungguh berlawanan dengan akal sehat. Lalu bagaimana reaksi Anda ketika membaca ayat ini? Apakah Anda langsung berteriak, “Bodoh!” atau Anda geleng-geleng kepala, “Yang benar saja, Tuhan!” Anda tidak percaya? Tapi ini memang benar. Mari kita membuat ini menjadi masuk akal. 
                Menurut Anda, manakah yang lebih membanggakan: memperoleh sesuatu dengan kerja keras atau dengan jalan pintas? Kalau Anda menjawab: dengan kerja keras, berarti Anda adalah orang yang berpikir secara masuk akal. Selanjutnya, pengalaman manakah yang menurut Anda lebih berkesan: ketika Anda berhasil melewati suatu keadaan dengan susah payah atau di saat Anda menjalani peristiwa-peristiwa ringan yang biasa? Kalau Anda memilih jawaban yang pertama, berarti jalan pikiran Anda memang sangat masuk di akal. Satu pertanyaan lagi, Anda pilih yang mana: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, atau sebaliknya? Untuk pertanyaan  yang terakhir ini, pasti menimbulkan jawaban yang beragam, tergantung dari sudut mana ia dipandang. Seorang pelajar yang akan mengisi kertas ujian selalu diperhadapkan dengan pertanyaan semacam ini. Apakah ia akan menjawab soal-soal yang mudah terlebih dahulu, atau ia akan mulai menjawab dari yang paling sulit, baru kemudian menjawab yang mudah. Untuk setiap jawaban atas pertanyaan ini memiliki alasannya sendiri. Tetapi kalau bicara tentang perjuangan hidup, saya rasa banyak yang akan memilih jawaban yang pertama, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
                Inilah yang menjadi penghiburan bagi mereka yang disapa berbahagia di ayat 11. Siapa pun tahu betapa sulitnya melewati situasi yang demikian; dicela, dianiaya dan difitnah. Tetapi Yesus memang sangat jujur dan terbuka. Ia tidak datang untuk membuat hidup ini menjadi lebih mudah. Karena itu Ia tidak mengiming-imingi orang dengan janji yang muluk-muluk. Secara terang-terangan Ia mengatakan kepada mereka bahwa penganiayaan dan penderitaan merupakan konsekuensi ketaatan mereka kepada-Nya. Orang-orang yang mendengarkan pengajaran Yesus ini mungkin diam-diam berkata dalam hati, “Yang benar saja, Tuhan! Sesulit itukah mengikut Engkau?”, tapi tidak ada yang berani bersuara apalagi protes. Dan, tunggu dulu, Yesus mengatakan “berbahagialah” untuk hal-hal yang sungguh tidak menyenangkan itu? “Ah, yang benar saja, Tuhan!
                Apakah kita masih penasaran dengan hal ini? Atau kita mungkin sudah berkali-kali membaca ayat-ayat yang senada dengan itu? Lalu apa yang kita lakukan? Membaca sepintas, menghayati sejenak lalu menutup Alkitab dan melupakan ‘hal bodoh’ tersebut? Saya pun awalnya demikian. Kurang peduli. Acuh tak acuh. Masa bodoh. Namun inilah saatnya untuk siuman. Jangan menunggu sampai via dolorosa itu ada di depan mata baru kita tersadar. Kita perlu menyiapkan diri agar di saat penderitaan itu menyapa kita, kita tidak akan terkejut. Yesus sudah mengatakan hal itu sebelumnya.
                Tinggallah satu pertanyaan lagi yang begitu mengusik hati saya. Saya yakin Anda pun sempat bertanya seperti itu. Apakah kita betul-betul siap untuk mati bagi Kristus? Beranikah Anda menjawab “Ya!” dengan suara lantang? Kalau benar begitu jawaban Anda, saya merasa perlu meragukannya, sama halnya dengan saya meragukan jawaban tersebut dalam diri saya sendiri, “Yang benar saja!”. Coba seandainya kita ada di posisi orang-orang Kristen pada abad pertama Masehi. Mereka mengalami penderitaan yang sangat berat; dilemparkan ke kandang singa, dibakar hidup-hidup, disayat dengan pisau, disiram dengan air panas, serta bentuk-bentuk penyiksaan lainnya. Bahkan kaisar Nero pernah membungkus hidup-hidup orang Kristen di suatu liang dan kemudian menyalakan liang tersebut. Ia pernah juga mengikat orang-orang Kristen pada binatang-binatang buas, lalu melepaskan anjing-anjing pemburunya untuk mencabik-cabik orang-orang tersebut sampai mati. Bayangkan jika itu terjadi pada kita. Siapkah kita menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk semacam itu? Hingga saat ini saya pun masih terus bertanya-tanya.
Sementara kita bergumul untuk memantapkan kesiapan kita, pernyataan Tertulianus yang berikut kiranya menjadi bahan perenungan kita pula: Jika seorang Kristen tiba kepada sesuatu pemilihan antara kesetiaan dan hidup, maka orang Kristen yang sejati tidak pernah enggan dan segan untuk memilih kesetiaan. Kesetiaan memang mahal harganya. Nyawa kita terkadang menjadi taruhannya. Namun inilah penghiburan bagi kita yang memilih untuk tetap setia: “upahmu besar di sorga...” Karena itu, seru Yesus,  “bersukacita dan bergembiralah!” Upah kita tidak akan diterima di dunia ini, melainkan di kehidupan yang akan datang. Anda keberatan? Tidak mengapa. Wajar. Toh pilihan ada di tangan kita. Kitalah yang akan menentukan apakah kita akan berinvestasi untuk hidup kekal nanti, atau justru tersenyum sinis, “yang benar saja, Tuhan! Saya maunya sekarang. Hidup cuma sekali. Masakan tidak saya manfaatkan untuk senang-senang!” Begitukah pandangan anda? Sekali lagi tidak mengapa. Semua kembali kepada anda.
                Tetapi ingat baik-baik. Kahlil Gibran pun pernah berkata bahwa orang yang tidak pernah merasakan penderitaan tidak akan dapat mengecap kebahagiaan. Justru penderitaan itulah jalan menuju kepada kebahagiaan. Sebagai orang Kristen, pengalaman penderitaan merupakan suatu kesempatan berharga untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada Kristus. Menderita untuk sebuah kebenaran adalah menderita secara terhormat. Karena itu mengalami hidup dalam penderitaan sesungguhnya merupakan keikut-sertaan dalam sebuah peristiwa besar yang mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan yang tiada tara. Silakan bertanya kepada para pendaki gunung bagaimana perasaan mereka saat berhasil menaklukkan puncak gunung. Pasti tidak biasa-biasa saja. Ada kegembiraan dan kebanggaan tersendiri.
                Seperti itulah sukacita dan kegembiraan Kristen. Sebuah kebahagiaan yang khas karena kita berbahagia di tengah penderitaan dan kesulitan hidup. Kita tidak berbahagia karena penderitaan itu sendiri. Kita berbahagia karena pengalaman hidup menderita itu membuat kita lebih dekat kepada penyertaan Kristus yang sejati. Kita berbahagia karena kita telah turut ambil bagian dalam penderitaan yang pernah dialami oleh berjuta-juta orang yang sekuat tenaga  mempertahankan imannya sampai titik darah penghabisan. Kita berbahagia karena kita sadar bahwa inilah jalan salib yang pernah ditempuh Yesus. Berat dan sukar memang. Tapi di ujung perjalanan ini, kemenangan itu menanti kita. Pasti. “Yang benar saja, Tuhan!” Ya, ini memang benar. Saya harap anda puas dengan jawaban ini dan berhenti bertanya. Kini anda tahu apa yang akan anda pilih sebagai orang Kristen yang sejati. (LAL)









“Kahlil Gibran pun pernah berkata bahwa orang yang tidak pernah merasakan penderitaan tidak akan dapat mengecap kebahagiaan. Justru penderitaan itulah jalan menuju kepada kebahagiaan”(LAL)

No comments:

Post a Comment