Thursday, December 23, 2010

PARA GEMBALA; GOLONGAN RENDAH, YANG TERNYATA PALING DEKAT DENGAN SANG JURUSLAMAT DUNIA LUKAS 2:8-20


 Di tempat kita ini, pasti kita tidak pernah melihat dan bertemu dengan seseorang yang mengaku diri berprofesi sebagai gembala. Masih lebih popular bagi kita sekarang ini; pekerjaan sebagai petani, nelayan dan pegawai negeri sipil ketimbang gembala. Anehnya; kita, sebagai orang percaya, seolah-olah sangat mengenal dan mengetahui mengenai pekerjaan gembala itu. Contohnya, kita tidak asing dengan istilah “gembala yang baik”, bahkan Pendeta seringkali kita sebut sebagai “gembala” umat. Mengapa “Gembala” umat? bukankah lebih cocok “Nelayan” umat; agar lebih dekat dengan situasi kehidupan kita sekarang ini. Jadi, mengapa Profesi yang tidak pernah ditemui dalam situasi orang percaya di tempat ini, malahan lebih dikenal dan seolah-olah sangat dekat dengan kehidupan kita? Jawabannya; karena dalam Alkitab, kita banyak menemui kata gembala dan tulisan-tulisan mengenai para gembala. contohnya, yang kita baca sekarang ini.
Pertama-tama, marilah kita mencari tahu terlebih dahulu mengenai profesi gembala itu. Pada zaman Perjanjian Lama sampai pada zaman Yesus; gembala adalah profesi yang paling popular. Gembala bertugas mengembalakan ternak peliharaan. Namun, ternak yang mereka gembalakan umumnya bukanlah milik mereka sendiri; Mereka hanyalah orang-orang upahan. Mereka biasanya mengembalakan ternak gembalaannya di padang rumput sampai berhari-hari; biasanya padang rumput yang hijau serta berair. Mereka harus bertanggung jawab terhadap ternak gembalaannya; jika hilang, mereka harus menggantinya.
Karena mengembalakan kawanan ternak sampai berhari-hari, mereka harus membawa bekal makanan, dan semacam selimut untuk menutupi tubuh mereka ketika beristirahat pada malam hari. Untuk melindungi kawanan gembalaan mereka dari binatang buas, biasanya mereka menggunakan tongkat; yang berguna juga untuk mengembalakan ternak mereka. Sebagai hiburan disaat mengembalakan ternak, mereka memainkan seruling. Selain itu, biasanya mereka berkelompok-kelompok, ini terjadi karena mereka mencari padang rumput yang hijau dan berair. Tentu saja, tempat seperti ini tidaklah banyak dan sulit untuk dicari. Sehingga dalam suatu padang rumput banyak gembala yang membawa ternak mereka ke tempat itu. Kondisi inilah yang membuat mereka saling mengenal satu sama lain, bahkan saling bersahabat. Bahasa kerennya, mereka membentuk “Gang” para gembala atau bahasa halusnya; ya, “rukun” para gembala.
Berkaitan dengan status social, mereka merupakan golongan yang paling rendah dalam strata social pada zaman itu. Mereka dianggap sebagai golongan rendahan, Hina dina, golongan yang termiskin dalam masyarakat Yahudi. Ahli-ahli Taurat mengatakan mereka adalah orang kafir; “mengaku sebagai orang Yahudi, tapi tidak melaksanakan hukum Taurat”. Berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat; tentulah mereka sangat jarang bergaul, hal ini bisa dimaklumi karena pekerjaan yang mereka tekuni adalah gembala; yang selama berhari-hari mengharuskan mereka untuk tinggal di padang. Jelaslah, mereka lebih akrab dan bergaul dengan kawanan ternak gembalaannya, ketimbang tetangga-tetangga mereka di kampung. Ini jugalah yang menimbulkan pandangan negative bagi para gembala, yang dianggap jorok/ kotor, tidak suka bergaul, tertutup dan tidak tahu aturan. Bukan bermaksud membela sie. Sebenarnya, jika diteliti lebih lanjut. Ternyata pekerjaan sebagai gembala sangat sulit. Mengapa? karena membutuhkan tanggung jawab yang tinggi, serta pengorbanan yang besar. Mari kita bayangkan; Mereka harus menginap untuk menjaga kawanan ternak agar tidak hilang atau diserang binatang buas. Mereka harus menuntun kawanan ternaknya agar mendapatkan padang yang berumput hijau. Sulit, bukan? Bahkan bisa jadi, pekerjaan sebagai gembala, taruhannya adalah nyawa mereka sendiri. Sayangnya, pekerjaan yang begitu berat ini. Tidak diiringi dengan upah dan penghormatan yang setimpal dengan pekerjaan yang mereka jalani. Gembala adalah profesi yang sangat popular pada zaman itu, tapi ternyata tidak memberikan jaminan kehidupan yang memadai bagi mereka yang mengeluti profesi ini.
Jelaslah, pekerjaan sebagai gembala dalam kehidupan umat Israel merupakan hal yang biasa; itupun berlaku pada zaman Yesus. Tapi tidak dizaman kita. Sehingga kita perlu mencari tahu bagaimana gembala itu, untuk dapat mengangkat makna dari perikop yang kita baca ini.
Setelah mengetahui status gembala pada zaman Yesus seperti itu, kita patut bertanya, mengapa yang dikunjungi para malaikat dan berkunjung ke tempat bayi Yesus adalah para gembala-gembala itu? Inilah kesaksian Injil Lukas 2:8-20; Mereka menanggapi positif apa yang disampaikan oleh para malaikat, dan mereka pun cepat-cepat berangkat Ke Betlehem (ayat 15,16). Setelah tiba, mereka menjumpai Maria, Yusuf dan tentu saja sang bayi yang diberitakan malaikat kepada mereka. Sampai disini tidak ada hal menarik yang mereka temui; tidak ada yang special. Bayi yang lahir sama saja seperti bayi kebanyakan, malahan bisa dikatakan memprihatinkan; sedang berbaring di dalam palungan. Bisa jadi apa yang mereka temui berbeda dari apa yang mereka pikirkan. Mungkin mereka berpikir, yang akan mereka jumpai adalah seorang anak yang bersinar, dan tinggal dalam istana yang sangat besar. Tapi toh, tidaklah demikian. Namun, respon merekalah yang sungguh mengagumkan setelah bertemu dengan sang juruslamat; Mereka tidaklah kecewa, malahan mereka memberitahukan apa yang dikatakan para malaikat kepada mereka tentang anak ini. mereka tidak bersungut-sungut, mereka percaya bahwa bayi itu adalah juruslamat yang dinantikan. Akhirnya, Mereka pun kembali dengan bersuka cita dan Memuji-muji Allah. Hebat, bukan? Kepercayaan yang sungguh terhadap wahyu yang mereka dapatkan; walaupun mungkin, tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Ternyata mereka dengar-dengaran, ya? Ini menandakan para gembala itu adalah orang-orang yang rendah hati.
Coba kita bayangkan; seandainya berita kelahiran sang juruslamat ini disampaikan pada ahli-ahli Taurat yang menganggap diri sebagai orang benar dan suci. Apakah mereka akan berlaku seperti yang dilakukan para gembala itu? Saya rasa tidak. Mana mau para ahli Taurat itu disuruh-suruh/ diperintah. Lagi pula, mereka tidak akan begitu saja percaya jika juruslamat yang dijanjikan itu terlahir hanya dibungkus dengan lampin dan berbaring dalam palungan. Mereka menggangap bahwa juruslamat akan datang dengan kemegahan, bukan seperti yang disaksikan oleh para gembala itu. Mungkin setelah mendapatkan wahyu, ahli-ahli Taurat itu akan pergi juga mengunjungi (mungkin karena terpaksa); tapi ketika mereka menemui sang bayi yang dimaksud, bisa terbayang. Pasti mereka tidak akan menerimanya sebagai seorang juruslamat. Dan, pastilah mereka pulang dengan bersungut-sungut. ini terbukti kok; ketika Yesus berkarya, ahli-ahli Taurat itu tidak mengganggap Yesus sebagai seorang juruslamat. Mereka juga yang selalu berdebat dan beradu pendapat dengan Yesus. Mereka juga kan; yang bersekongkol untuk membunuh Yesus.
Jadi, Mengapa para gembala? Karena mereka dengar-dengaran. Tulus melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Lebih daripada itu, karena focus utama penulis injil Lukas adalah orang miskin/ yang dianggap “sampah” masyarakat. Para gembala yang dicap oleh ahli-ahli Taurat sebagai orang kafir karena tidak memiliki waktu untuk menjalankan Taurat Tuhan, ternyata merekalah yang mendapatkan berita sukacita untuk pertama kalinya; bukan mereka yang mengaku diri memiliki kelebihan rohani. Gembala, yang berasal dari golongan rendahan ternyata menjadi yang paling dekat dengan sang juruslamat dunia. Melalui pericop ini, Lukas juga ingin menyampaikan kepada kita, sang juruslamat datang kepada mereka yang malahan mengganggap diri berdosa, dan tidak sanggup memperoleh keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri. Bukan kepada mereka yang mengganggap diri hebat; sehingga mengganggap diri dapat mengejar keselamatannya sendiri. Jelas, bukan? Penampilan ternyata bisa menipu, dan ternyata Tuhan tidak melihat penampilan, tapi melihat hati. Teringat sebuah lagu sekolah minggu yang mengambarkan hal ini. Aku dan kamu sama dimata Tuhan, tak ada yang beda, tak satu pun beda…. Jadi, Kaya-miskin, sama dimata Tuhan.
Keberpihakkan Lukas terhadap orang “miskin” Nampak juga ketika ia menggambarkan mengenai kemanusiaan Yesus. Lahir dalam situasi yang memprihatinkan, Keluarga yang sederhana; ayah tukang kayu. Ibunya, seorang ibu rumah tangga. Tidak memiliki apa-apa dalam hidup. Dekat dengan orang miskin; orang kecil. Dan tentu saja jauh dari gemerlapan pesta ulang tahun. Tapi sebaliknya juga, Lukas menonjolkan ke-Tuhanan Yesus. Sang Juruslamat yang datang ke dalam dunia. Memang sie bukan membawa kebebasan dari kemiskinan, pergumulan dan kemelaratan secara duniawi atau materi; tapi, membawa damai sejahtera, keselamatan, serta Kehidupan yang kekal bagi orang yang percaya.
Sekarang, kita akan merayakan ulang tahun sang juruslamat dunia yang disaksikan oleh para gembala ribuan tahun lalu. Pertanyaan bagi kita: Apakah kita sudah dengar-dengaran kepada Dia? Apakah kita sudah berlaku seperti para gembala itu? Kita kan mengaku diri sebagai Orang-orang yang beriman. Nah, apakah kita telah melakukan semua yang diperintahkan Tuhan? Apakah kita sudah menempatkan diri di tempat yang paling dekat dengan sang juruslamat atau sebaliknya? Jawabannya, tentu ada pada pribadi kita masing-masing. Selamat menyambut dan menghayati peristiwa natal. (FPK)
 Frany P Kuron
Salah satu penulis
buku renungan MAKARIO5
senin, 30 nov 2009

No comments:

Post a Comment