Thursday, December 30, 2010

HATI YANG TULUS DAN PERCAYA; ITULAH KEHIDUPAN YANG BERBAHAGIA! (Matius 5:8)


Orang yang suci hatinya? Pasti kita langsung berpikir bahwa ucapan Yesus ini ditunjukkan kepada orang-orang yang tanpa dosa. Orang-orang yang hidup alim, rajin ke gereja, penatua, syamas, dan pendeta. Betul! Tidak juga. Rajin ke gereja, penatua, syamas bahkan Pendeta, bukan berarti tidak pernah berbuat dosa. Lupakah kita bahwa setiap orang adalah manusia berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Tuhan? Dalam Roma 3:23 dijelaskan  “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.
Suci hatinya menunjuk pada hati yang terang, ikhlas, hati yang percaya. Tulus mengaku diri sebagai manusia berdosa dan datang meminta pengampunan kepada Tuhan. Merasa dan mengaku sebagai orang berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Allah.
Ucapan Yesus ini sebenarnya merupakan sebuah kritikkan terhadap mereka yang merasa diri tanpa dosa, mereka yang merasa diri dapat mengejar keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri; dengan menjalankan praktek-praktek keagamaan. Pada zaman ketika Yesus berkarya di dalam dunia, banyak orang yang merasa diri sanggup mengejar keselamatan/ kemurahan Allah dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Mereka merasa diri memiliki kelebihan rohani, memiliki kebenaran sejati. Mereka sangat rajin beribadah, rajin berdoa, rajin membawa persembahan kepada Tuhan bahkan tahu banyak mengenai Taurat Tuhan dan selalu berusaha menjalankannya. Namun, tindakan keagamaan yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan sikap yang mereka tunjukkan. Mereka mengganggap orang lain tidak pantas bahkan tidak mungkin mendapatkan kemurahan Allah karena tidak mampu menunjukkan ketaatan seperti yang mereka lakukan. Lebih parahnya lagi, motivasi mereka menjalankan upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh pujian dan pengakuan.
Bagi Yesus, mengandalkan diri sendiri dalam mengejar keselamatan/ kemurahan Allah merupakan kesombongan rohani. Orang yang suci hatinya adalah orang yang tulus membagi kasih tanpa mengharapkan imbalan atau pujian. Yesus melihat bukan apa yang nampak oleh mata melainkan ketulusan hati untuk melakukan. Semua yang dilakukan adalah respon iman, Bukan karena kehebatan dan kekuatan diri sendiri melainkan kesadaran sebagai manusia lemah yang selalu membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Yesus tidak menginginkan umat-Nya bagaikan buah “kadondong” yang kelihatan licin, dan mulus di luar tapi di dalamnya penuh dengan duri; atau bagaikan sebuah gedung gereja yang megah tapi anggota jemaatnya kurang memberi diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah; atau pula seperti kantor dengan gedung yang mewah namun situasi dan keadaan di dalamnya tidak nyaman bahkan hampir bangkrut.
Yesus tidak menginginkan kita kelihatan baik hanya pada luarnya saja, tapi dia ingin ketulusan dari lubuk hati terdalam; tentu saja bermuara pada sikap hidup yang baik di dalam dunia. Ibarat mendirikan rumah, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah pondasinya yang kuat, baru kemudian dipoles menjadi rumah yang indah. Bagaimana jadinya sebuah rumah yang pondasinya dibuat asal-asalan? Walaupun indah dipandang tapi menyimpan “bom waktu” yang siap meledak. Begitu juga dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya, yang harus dibangun dahulu adalah ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Hati yang tulus dan percaya! Itulah pondasi yang paling kokoh.
Pernahkan kita merasa bahwa memberikan persembahan adalah sebuah beban? jika pernah, mungkin hal itu terjadi karena kita menganggap persembahan adalah sebuah kebiasaan yang harus diberikan anggota jemaat; terlebih lagi memberi supaya memperoleh pujian. Persembahan kepada Tuhan menjadi beban karena dilandasi oleh motivasi yang keliru. Kekeliruan ini berdampak pada kerelaan memberikan persembahan; yang diberikan hanya sisi-sisa dari pengeluaran keuangan selama seminggu. Berbeda jika persembahan yang kita berikan didasarkan pada hati yang tulus sebagai respon atas anugerah Tuhan dalam kehidupan kita. Maka, persembahan yang kita berikan bukan lagi menjadi sebuah beban tapi suatu kebahagiaan. Memberikan yang terbaik kepada Tuhan bukan memberikan sisa uang belanjaan.
Marilah kita merenung dengan hati yang tulus, pernahkah kita mengakui bahwa kita adalah manusia yang berdosa? Pernah! Syukurlah. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa pengakuan dosa yang tulus dihadapan Allah dimulai dari hati yang tulus dihadapan Allah. Dimulai dari hati yang tulus, kemudian percaya. Benar-benar menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah bukan karena tuntutan liturgi dalam ibadah atau tuntutan pergumulan yang berat dalam hidup, baru kita ada waktu untuk mengaku dosa di hadapan Allah.
Aktif dalam kegiatan gereja, rajin menyumbang di gereja dan rajin memberikan persembahan bahkan memberikan persembahan persepuluhan secara rutin, itu baik! Sangat baik malah. Namun bukan itu yang diinginkan Tuhan. Yang terutama adalah hati kita, kemudian tindakan yang dilakukan. Maksudnya, hati yang tulus dan ikhlas kemudian bermuara pada tindakan yang menyenangkan Tuhan. Ketulusan hati membawa pada pengakuan sebagai manusia berdosa dan secara sadar menyandarkan kehidupan kepada Tuhan sebagai empunya kehidupan. Inilah kehidupan yang berbahagia! Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan. Mengakui sebagai manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah, itulah kebahagiaan yang sejati. 
Akhirnya, orang yang “suci hatinya” janji Allah, “...mereka akan melihat Allah”. Allah yang telah berkarya, sementara berkarya dan akan terus berkarya di dunia ini.


FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24 renungan tentang kebahagiaan
2009

No comments:

Post a Comment