Monday, December 6, 2010

Lonca; Pengalaman Berharga Dalam Pelayanan

Perjalanan menuju Kota Palu Sulawesi Tengah diliputi kekuatiran yang terurai dengan pertanyaan-pertanyaan dalam hati. Bagaimana keadaan dan situasi tempat pelayananku? bisakah aku menjadi akrab dengan Pendeta dan Jemaat di sana? Bagaimana sikap yang harus ku tunjukkan? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan gambaran atas kekuatiran yang melanda hati sanubariku.
Desa Lonca menjadi tempat pelayananku. Jalannya masih memprihatinkan. Jalan penghubung antara desa Lonca ke ibukota kecamatan sangat buruk, sebagian jalannya belum di-aspal. Sebagai alat trasportasi masyarakat Lonca mengunakan motor, Itupun sangat berbahaya; banyak tanjakkan yang licin dan dipenuhi bebatuan tajam. Pada malam hari desa Lonca menjadi desa yang gelap gulita karena belum dijangkau aliran listrik (PLN). kebanyakan acara; baik ibadah atau pertemuan dilakukan pada sore hari sampai malam menjemput. Pada siang hari, desa Lonca menjadi desa yang sepi karena semua masyarakat desa pergi ke kebun untuk mencari dan mengusahakan kehidupan.
Pengalaman pelayanan di desa Lonca merupakan sebuah pengalaman indah yang membawa pada perenungan antara kerinduan dan keinginan untuk melayani. Antara kekuatiran dan kebahagiaan. Antara ketidaknyamanan dan keyamanan. Bagiku pengalaman ini menjadi pengalaman berharga yang sulit terlupakan; waktu itu, sekarang dan akan datang.
Kehidupan desa yang berbeda dengan kehidupan kota, 1 bulan 10 hari menjadi waktu yang terkadang terasa begitu lama dan terkadang juga terasa begitu cepat. Desa Lonca mempertontonkan dunia lain dari kehidupan ini, dan membawa warna lain dalam kertas kehidupan pribadi. Masa-masa di desa Lonca memberikan pengalaman yang indah dan pengalaman untuk melayani di tengah-tengah jemaat atau masyarakat; Melihat dan merasakan langsung suka-duka pelayanan di jemaat atau masyarakat, Menyesuaikan diri dengan kehidupan jemaat atau masyarakat yang memiliki adat-istiadat yang sangat kental dan indah serta menjalin kekeluargaan dan kedekatan melalui pelayanan perkunjungan dengan semua masyarakat desa. Yang terpenting adalah pengalaman untuk benar-benar melayani.
Akhirnya, Pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan menuju kota Palu Sulawesi Tengah terjawab dalam masa-masa pelayanan di desa Lonca. Keyakinan imanku pelayanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan diakhiri dengan Pengalaman, Kebahagiaan dan Kepuasan dalam diri. Desa Lonca merupakan desa yang berkesan dalam perjalanan kehidupanku. Memberi warna indah dalam lembar kehidupan pribadi. 


Desa Lonca berada di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala, Kecamatan Kulawi. Sekitar 3 jam perjalanan darat dari Kota Palu. Batas-batas desa Lonca; sebelah Utara, berbatasan dengan desa Winatu; sebelah Selatan, berbatasan dengan desa Boladangko; sebelah Timur, berbatasan dengan desa Sungku; sebelah Barat, berbatasan dengan Hutan Reboisasi. Adapun jumlah penduduk desa Lonca berjumlah 499 orang yeng terdiri dari 260 orang perempuan dan 239 laki-laki. Terhimpun dalam 124 kepala keluarga. Desa Lonca secara struktur pemerintahan memiliki 2 dusun yang masing-masing memiliki kepala dusun. Tentu dikepalai oleh seorang kepala desa. Berkaitan dengan agama; terdapat 17 orang menganut agama islam, dan 480 orang beragama Kristen. Di desa ini hanya memiliki satu buah rumah ibadah yaitu GPID “Efrata” Lonca. Mayoritas masyarakat Lonca adalah jemaat GPID Efrata Lonca. Adapun perbedaan keyakinan tidak menjadi masalah dalam kehidupan bermasyarakat karena semua penduduk desa Lonca masih terikat tali persaudaraaan. Masyarakat desa Lonca kebanyakkan berprofesi sebagai Petani. Senin sampai sabtu mereka pergi ke kebun, waktu keberangkatan mereka dari rumah/ desa ke kebun disesuaikan dengan jarak tempuh/jauh dekatnya perjalanan yang harus ditempuh. Jika perjalanan ke kebun jauh, berarti mereka harus lebih cepat keluar rumah. Pastinya jam kerja mereka dari jam 8 pagi sampai jam 2 sore. Karena profesi mereka bertani maka pada siang hari keadaan desa Lonca akan terkesan sunyi, yang ada hanyalah anak-anak, orang-orang tua, serta ibu-ibu yang memiliki anak balita. Penduduk desa Lonca umumnya merupakan petani Vanili, Coklat, Padi Sawah, Padi Ladang dan Kopi. Cara bertani penduduk desa masih sangat tradisional yaitu menggunakan tenaga manusia. Keadaan alam sangat baik, udara yang segar dan masih dikelilingi hutan yang lebat mendukung profesi masyarakat desa. 

Desa Lonca diambil dari bahasa Kulawi. “Lonca” artinya adalah Pohon Langsat. Mengapa sampai dikenal dengan “Desa Pohon Langsat”? jawabannya; dahulu, letak desa ini awalnya berada di atas bukit (letak bukit itu tidak jauh dari pemukiman/ desa yang sekarang), di bawah bukit itu terdapat sungai “Miu” (“Miu” adalah bahasa Kulawi yang berarti “Sungai Besar”), disamping sungai “Miu” pada jalan menuju desa terdapat pohon langsat. Pada waktu itu (masih berlangsung sampai sekarang) jika di desa ada acara baik kematian ataupun perta pernikahan maka warga desa mengundang semua orang atau keluarga yang berada di desa-desa tetangga; desa Winatu, Sungku, Boladangko, Bolapapu, dan lain-lain. Karena adat yang sangat kental dan ikatan tali persaudaraan yang masih dijunjung tinggi maka orang yang di undang akan berusaha datang walaupun harus berjalan kaki selama berjam-jam (situasi yang terjadi dahulu). Karena harus berjalan kaki untuk menghadiri acara di desa maka mereka menyiapkan pakaian ganti, pakaian itu mereka pakai setelah membersihkan diri di sungai “Miu” yang tidak jauh dari tempat itu terdapat pohon langsat tempat mereka berganti baju dan berteduh untuk beristirahat. Setelah membersihkan diri, ganti baju, dan berstirahat barulah mereka menuju desa untuk menghadiri pesta. Ternyata, desa Lonca yang ada sekarang merupakan pemukiman kedua. Menurut cerita, sekitar tahun 1970-an penduduk desa Lonca pindah dari desa yang letaknya di atas bukit ke bawah (namun tidak begitu jauh dari pemukiman yang pertama). Hal ini disebabkan oleh bencana alam, Gunung yang tadinya merupakan tempat bermukim penduduk Lonca perlahan-lahan turun tapi tidak langsung ambruk. Ketua lembaga adat, seorang yang dituakan dan dihormati mendapatkan mimpi yang berkaitan dengan peristiwa alam ini. dalam mimpi itu semua masyarakat desa harus pindah dan mencari pemukiman yang lain. Mimpi dari ketua lembaga adat itupun dituruti, setelah semua masyarakat, ternak dan barang-barang di keluar dari desa, barulah gunung itu ambruk. Dari peristiwa ini, penduduk desa meyakini akan kemahakuasaan Tuhan. Tanda yang diberikan pada masyarakat desa sebelum bencana alam itu terjadi dianggap sebagai kemahakuasaan Tuhan yang menolong masyarakat desa sehingga terhindar dari bencana. Desa Lonca; masyarakat yang ramah dengan adat kulawi yang kuat Mayoritas masyarakat desa Lonca adalah suku Kulawi, sehingga Adat istiadat Kulawi sangat kental dalam kehidupan bermasyarakat desa lonca. adat Kulawi memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat di desa Lonca, adat Kulawi masuk dan terserap dalam setiap sendi kehidupan penduduk desa. 1 bulan 10 hari bukanlah waktu yang singkat bagiku untuk membuat kesimpulan bahwa Masyarakat desa Lonca adalah masyarakat adat. 
Di desa Lonca terdapat lembaga adat yang mengatur segala sesuatu mengenai adat. Pengurus-pengurus lembaga adat adalah orang-orang yang dituahkan dan sangat dihormati; dalam setiap acara, baik kematian dan acara pesta Pernikahan, lembaga adat memegang peranan yang penting. Lembaga adat selalu diberikan kesempatan untuk berbicara, memberikan nasihat ataupun mengurus segala sesuatu berkaitan dengan adat. Lembaga adat juga mengurus segala pelanggaran adat yang dilakukan oleh masyarakat. Lembaga adat memberikan “denda” bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran adat yaitu bagi mereka yang membuat keributan saat pesta, melakukan tindakan-tindakan asusila, pencurian, dan lain-lain. Besarnya “Denda” yang dijatuhkan biasanya disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan. “Denda” diukur dengan Kerbau atau diganti dengan uang bagi pelanggaran yang berat. Lembaga adat menjadi factor utama mengapa adat kulawi masih terjaga dengan baik dalam kehidupan masyarakat desa Lonca. Dalam kehidupan masyarakat desa lonca, penghormatan orang yang lebih tua sangat nampak dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini nampak ketika seorang anak tidak bisa menyebut nama ayah atau ibunya. Sapaan seorang Bapak dan Ibu bukan menggunakan nama mereka melainkan menggunakan nama anak mereka yang paling Tua, contohnya; papa Farel artinya papanya Farel, dan mama Farel artinya mamanya Farel. 

Gereja sudah ada di Lonca, GPID "efrata" Lonca. Hari ulang tahun GPID Efrata Lonca diperingati pada tanggal 11 July 1949. Tanggal 11 July 1949 dipilih karena pada tanggal itu terjadi peristiwa baptisan masal pertama di desa Lonca yang dilayani oleh pendeta Makapedua. Pendeta Makapedua ternyata adalah seorang pendeta GMIM yang ditugaskan di Palu (pada waktu itu pendeta biasanya hanya melakukan pelayanan-pelayanan sakramen). Ternyata Daerah Kulawi termasuk desa Lonca adalah daerah pelayanan penginjilan GMIM. Setelah baptisan masal itu lalu masuklah pendeta Ch. Lengkey yang merupakan Pendeta pertama di Kulawi yang juga merupakan tenaga utusan GMIM. Beliau masuk pada bulan Agustus 1949. Melihat situasi dan suasana di desa Lonca yang belum memiliki sekolah maka pendeta Ch. Lengkey mengajak bapak Frans Rontonuwu untuk mengajar di Kulawi Khususnya di desa Lonca. SD Negeri yang sekarang berdir kokoh di desa Lonca merupakan sekolah yang didirikan oleh bapak Frans Rontonuwu. Awalnya sekolah ini akan dijadikan sekolah swasta di bawah naungan GMIM, tapi tidak memungkinkan karena GMIM tidak sanggup mendirikan atau membiayai sekolah di luar tanah Minahasa. Maka akhirnya sekolah itu dialihkan menjadi sekolah negeri pertama di Kulawi. Jemaat GPID Efrata Lonca terdiri dari 4 kolom yang masing-masing terdapat seorang Penatua dan Diaken. Jemaat ini memiliki seorang pendeta pelayanan, sebuah pastori, dan sebuah gereja yang masing dalam pembangunan. Dengan 115 kepala keluarga sebagai anggota jemaatnya. Sarana pelengkap dalam ibadah gereja sudah bisa dikategorikan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sarana prasarana yang kurang memadai tidak menghambat pelayanan. Berkaitan dengan Tata Ibadah tidak terdapat perbedaan yang prinsip dengan tata ibadah GMIM. Hal ini mungkin disebabkan karena daerah GPID dahulunya merupakan ladang pelayanan GMIM, jadi ciri Khas GMIM nampak pula dalam tata ibadah GPID. Jelaslah bahwa Desa Lonca tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan GPID “efrata” Lonca. Nampak jelas bahwa keberadaan gereja di desa Lonca telah ada sejak lama dan telah masuk dan terserap bersama adat dan kebudayaan masyarakat Lonca. 


****
KEINDAHAN PERNIKAHAN ADAT KULAWI
Prosesi “Memua” “Memua” adalah acara pernikahan adat kulawi, dalam acara ini mempelai laki-laki dalam suatu prosesi atau arak-arakan adat di antar ke rumah mempelai perempuan. “Memua” biasa dilakukan pemberkatan Gereja. Setiap orang yang terlibat dalam acara “Memua” ini harus mengunakan pakaian adat Kulawi. Acara ini dimulai dari rumah mempelai laki-laki. Dari rumah mempelai laki-laki kemudian rombongan arak-arakan mempelai menuju rumah mempelai perempuan. Arak-arakan mempelai laki-laki ini dipimpin oleh seorang “Tandulako” artinya orang terdepan atau utusan. “Tandulako” merupakan orang yang dituakan dan dipercaya oleh keluarga mempelai laki-laki untuk menjadi utusan. “Tandulako” inilah yang nantinya akan berbicara setelah arak-arakkan mempelai laki-laki sampai ke rumah mempelai perempuan. Dalam rombangan arak-arakkan itu terdapat seseorang ibu yang membawa dulang dan kapak Tumpul yang digendong dengan menggunakan kain atau selimut. Arti dari dulang dan kapak tumpul yang digendong sang ibu ini melambangkan kerendahan hati keluarga laki-laki. Dulang merupakan peralatan adat yang selalu digunakan oleh masyarakat Kulawi ketika melakukan acara-acara adat, dulang Kulawi Sekarang ini merupakan barang antik san sulit untuk ditemukan. Bagi masyarakat Kulawi, Dulang adalah barang yang paling berharga. Adapun kapak merupakan simbolisasi dari seorang lelaki. Pekerjaan seorang laki-laki Kulawi adalah membuka hutan lewat menebang pohon mengunakan kapak. Setelah arak-arakan sampai ke depan pintu rumah mempelai perempuan (pintunya masih terkunci), “Tandulako” bersuara “ehm”, lalu memanggil orang tua mempelai perempuan, kemudian dilanjutkan dengan mengetuk pintu. Terdengar suara orang tua yang dituakan dari dalam rumah, siapa? Pertanyaan ini dibalas oleh “Tandulako” dengan menyebut nama mempelai laki-laki. Pintu pun dibuka lalu arak-arakan mempelai laki-laki di persilakan untuk masuk ke rumah mempelai perempuan. Setelah arak-arakan mempelai laki-laki masuk dalam rumah, tetua adat pihak mempelai perempuan bertanya mengenai tujuan kedatangan. Pertanyaan ini dijawab oleh “Tandulako” dengan “lembaga-lembaga yang dituakan : lembaga adat, pemerintah dan pelayan. Tujuan kami datang dimintakan oleh keluarga besar laki-laki. Disaksikan oleh lembaga adat, pemerintah dan pelayan Tuhan, kami mengantar pengantin laki-laki....(nama dari pengantin laki-laki). Seperti kapak tumpul, tajam tidak tajam kami bawa nanti kamu asa sendiri di sini. Disuruh lawan arus, ikut arus sampai di sini saja. Disuruh waktu hujan deras, waktu panas kami tidak menolak, di waktu bulan terang, di waktu bulan gelap kami juga tidak menolak. Kami sudah tinggal di sini selamanya” (mengucapkan dengan bahasa Kulawi). Di sini disampaikan maksud untuk memperistri mempelai perempuan. Kata-kata yang diucapkan oleh “Tandulako” merupakan tanda keseriusan dari mempelai laki-laki untuk memperistri mempelai perempuan. Acara “memua” ini lalu dilanjutkan dengan “Gantung Parang”. “Tandulako” mengambil parang yang dibawa oleh mempelai laki-laki lalu digantung dalam kamar mempelai perempuan. Dalam acara “Gantung Parang” ini ada doa-doa yang dipanjatkan oleh “Tandulako” untuk mempelai laki-laki. “saya gantung parangnya....(nama mempelai laki-laki) saya tidak salah gantung, agar diberikan keturunan, umur panjang dan berkat yang melimpah”(dengan bahasa kulawi). Sesudah acara “Gantung Parang” dilanjutkan dengan pemberian petua, nasihat-nasihat, wejangan oleh lembaga adat, pemerintah maupun pelayan Tuhan. Acara ini dilakukan dengan cara duduk bersilang di tempat yang sudah disiapkan. Dalam acara ini ada semacam pengakuan atau pengesahan secara adat bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami-istri. Pengakuan dan pengesahan ini dilakukan oleh orang yang dituakan. Pemberian nasihat-nasihat ini dipandu oleh pembawa acara biasanya adalah sekretaris jemaat. Contoh-contoh nasihat adat yang disampaikan adalah “Tentu sebagai suami yang tadinya sebagai bujang sekarang telah menjadi kepala keluarga, begitu juga istri telah menjadi ibu rumah tangga. Hendaklah saling mengasihi, melindungi bagaikan batang kayu yang dibakar habis sampai jadi abu” (dengan bahasa Kulawi). Pemberian nasihat dari lembaga adat, pemerintah dan pelayan Tuhan sesuai dengan porsi masing-masing, maksudnya adalah sesuai dengan wewenang masing-masing. Dalam adat Kulawi lembaga adat di kenal dengan “Rapohunaka” duduk bersilang, mengurus persoalan dengan duduk bersilang. Pemerintah “Rapokoreka” : tindakan. Dan bagi pelayan Tuhan “Rapoinkuka” memberikan keteladanan melalui sikap dan tingkah laku. Berkaitan dengan pemberian nasihat pemerintah banyak menyentil tentang turut mensukseskan program pemerintah. Setelah itu ada respon dari keluarga mempelai perempuan yaitu “kami menerima anak kami bukan hanya seindah perak tapi seindah emas”. Sudah putih telur ayam sudah putih juga hati kami menerimanya”. Prosesi “Popentodui” Pada acara “Popentudui” mempelai perempuan yang diantar kerumah mempelai laki-laki. Utusan atau “Tandulako” adalah orang yang dituakan dari pihak keluarga perempuan. Jika dalam “Memua” laki-laki disimbolkan dengan dulang dan kapak tumpul maka dalam “Popentudui” perempuan disimbolkan dengan dulang dan pacul tumpul (pacul melambangkan kebiasaan perempuan kulawi yang pergi ke kebun untuk mencangkul). “Popentodui” dilakukan pada sore hari setelah pemberkatan gereja dan makan adat. Acara “Popentudui” Dimulai dari rumah mempelai wanita, “Tandulako” memberikan pengumuman bahwa acara “Popentodui” akan segera dilakukan. Rombongan mempelai perempuan diarak menuju ke rumah mempelai laki-laki. Setelah tiba, sang “Tandulako” memanggil dan mengetuk pintu rumah mempelai laki-laki. Pihak mempelai laki-laki membukakan pintu dan mempersilahkan rombongan mempelai wanita untuk masuk. Adapun kalimat yang diucapkan “Tandulako” yang mengantar mempelai perempuan adalah “lembaga-lembaga yang dituakan : lembaga adat, pemerintah dan pelayan. Tujuan kami datang diminta oleh keluarga besar perempuan. Disaksikan oleh lembaga adat, pemerintah dan pelayan Tuhan. kami datang mendampingi anak kami perempuan....(nama dari pengantin laki-laki) seperti pacul Tumpul, tajam tidak tajam kami bawa nanti kamu asa sendiri di sini.anak kami ini belum tahu memasak. Biarlah kamu bina, didik untuk menjadi anak serta istri yang baik” (dengan bahasa Kulawi). Kemudian dilanjutkan dengan acara injak dulang, sama seperti acara “gantung parang” pada acara “Memua” terdapat doa-doa yang dipanjatkan oleh tetua adat untuk mempelai perempuan dan keluarga. Acara injak dulang juga mengandung arti penyambutan orang tua laki-laki terhadap mempelai perempuan sebagai menantu mereka. Setelah itu dilanjutkan dengan nasihat-nasihat, wejangan dari para orang tua. Contohnya “Pencamokomi Uma Hampua-Hampua Hewakan Ralobu Sampe Kapumpuna” artinya “kamu suami istri jangan setengah-setengah seperti kayu api yang di bakar sampai menjadi abu”. Dan masih ada rumusan-rumusan lain yang di sampaikan sebagai sebuah nasihat. Acara terakhir dilanjutkan dengan respon dari keluarga lelaki. Rumusan bahasa adatnya sama dengan yang diucapkan pada acara “Memua”. 
“Memua” dan “Popentudui” adalah adat perkawinan kulawi. Dari uraian diatas sangat jelas bahwa tata cara dan prosesi acara “memua” dan “Popentudui” sangat mirip, yang berbeda hanyalah barang-barang guna simbolisasi yang mempelai laki-laki dalam “memua” dan mempelai perempuan dalam “popentudui”. Jelaslah bahwa acara “Memua” sangat berkaitan erat dengan acara “Popentudui”. Keduanya diibaratkan laki-laki dan Perempuan, kompor dan minyak tanah, mobil dan bahan bakar, akal dan perasaan, suami dan istri. Perkawinan adat “Memua” harus dilanjutkan dengan “Popentudui”. “Memua” adalah acara adat dimana mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan. Sedangkan “Popentodui” adalah acara adat di mana mempelai perempuan dalam suatu prosesi atau arak-arakan adat di antar ke rumah mempelai laki-laki. Keduanya di pandang sebagai suatu kesatuan, ada keyakinan dari masyarakat Lonca apabila “Popentodui” tidak dilakukan maka mempelai perempuan tidak boleh datang dan masuk kerumah mertuanya. Ada juga yang mengatakan bahwa keluarga yang baru akan selalu terkena musibah. Penutup; Suara Hati Desa Lonca telah memberikan pengalaman indah perjalanan kehidupanku. Dalam tulisan ini saya berusaha memberikan sedikit gambaran mengenai desa ini, ditambah dengan sedikit tulisan mengenai adat istiadat yang dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat suku Kulawi. Aku sadar bahwa tulisan mengenai adat-istiadat Kulawi dalam tulisan ini bagaikan “setitik tinta hitam dalam sebuah kertas putih”. Adat Kulawi yang kutulis dalam tulisan ini hanya sebagian kecil dari kekayaan dan keindahan adat Kulawi yang ada di desa Lonca.  Harapan saya semoga tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai sebuah desa yang unik dengan keindahan adat-istiadatnya. 
 
Data-data yang dicantumkan dalam tulisan ini merupakan data-data yang dikumpulkan tahun 2008.Masa PPL di GPID Erata Lonca. Kulawi. Palu

No comments:

Post a Comment