Thursday, December 9, 2010

Cerita OM ALO Part 1; Burung Manguni



Pagi itu, pada sebuah pelataran rumah semi permanen; Duduklah seorang bapak dengan santainya. Om Alo, begitulah dia sering disapa. Ditemani kopi susu kental, dan kue pisang goroho yang digoreng tanpa terigu, buatan istri tercinta, Om Alo menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan. Sesekali mulutnya terlihat mengunyah pisang goreng dan meneguk kopi susu yang dihidangkan kepadanya itu. Tidak jauh dari tempatnya duduk, terlihat anak bungsunya dengan tekun melaksanakan tugas rutin setiap pagi; membersihkan, dan menyirami bunga-bunga yang tumbuh indah menghiasi pekarangan. Rumah itu menjadi tampak asri dan nyaman dengan bunga-bunga itu; Menjadi tempat yang menyenangkan untuk bersantai, memanjakan mata dan menikmati hidup sebelum mengawali hari. jelaslah, bersantai di pagi hari telah menjadi ritual wajib bagi Om Alo sebelum memulai pekerjaannya.
Dari tempatnya bersantai, Tampak seorang anak berpakaian putih Merah dengan tas Hitam dipunggungnya; sambil memegang tangan sang ibu tercinta, berjalan menuju sekolah. Nampak juga beberapa Remaja berpakaian Putih Biru dan putih abu-abu, berkelompk-kelompok lewat di depan pagar rumahnya. Begitu juga mobil dan motor yang tidak mau ketinggalan untuk membantu pengendaranya beraktifitas pagi itu.
Sambil menikmati pemandangan itu, kembali om Alo meneguk kopi susu dihadapannya yang masih sangat panas dan melahap pisang goroho goreng dihadapannya. Burung-burung “Ringkeng” berkicau ceria menyambut datangnya sang mentari; seolah-olah merasakan juga sukacita yang dialami oleh om Alo pada pagi itu.
“Koran-Koran”!!! terdengar teriakan Tukang Koran yang lewat di depan rumahnya.
“Angki”!! Suara om Alo terdengar memanggil anak bungsunya “Coba ngana pangge akang itu tukang Koran konk ngana bili akang Koran tare, napa itu doi… “ Angki tanpa berkata apa-apa dengan cekatan menuruti apa yang dikatakan oleh bapaknya… Tidak berapa lama Angki kembali dengan beberapa buah Koran yang terkenal di daerah ini. Setelah menyerahkan Koran tersebut, Angki pun kembali menikmati pekerjaannya, membersihkan dan menyirami bunga yang indah itu.   
Tidak berapa lama, “Ado kasing, kiapa itu Burung Manguni drang somo ganti dengan burung Pombo dank!!” Terdengar teriakkan yang spontan dari mulut om Alo ketika membaca salah satu artikel dalam Koran itu. Kopi susu dihadapannya menjadi penenang, tidak ketinggalan juga sepotong pisang goroho kembali masuk ke dalam mulutnya dan langsung dikunyahnya. 
Artikel Koran itu menjadi menarik bagi om Alo bahkan membuatnya sangat kaget karena beberapa waktu yang lalu dia baru saja memberikan seminar tentang symbol dan teologi; pada sebuah konsultasi kebudayaan diluar daerah. Apa yang disampaikannya dalam konsultasi itu masih panas mendidih dalam ingatannya, masih melayang kesana kemari bagaikan layangan putus dalam pikirannya. Kesimpulan om alo dalam konsultasi itu;
“Simbol merupakan bukti Persaudaraan, symbol membangkitkan kenangan, sejarah, ikatan dan kebersatuan. Symbol menceriminkan jati diri dari penggunanya yang memiliki arti dan makna yang sangat dalam. Symbol haruslah tercermin dalam setiap kehidupan penggunanya; karena Kehidupan penggunanya adalah symbol. Bagaimana symbol akan menjadi Nampak dalam kehidupan penggunanya jika symbol yang digunakan tidak memiliki ikatan, kenangan, dan kebersatuan dengan penggunanya? Walaupun symbol itu dianggap memiliki makna teologis yang dalam, tidak akan berarti apa-apa. Apa gunanya Menjadi Sangat teologis namun tidak kontekstual. Bagiku Suatu symbol Tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki (kekuatan untuk mendorong) ikatan batin dengan penggunanya. Mengapa? karena tidak diangkat dari kebudayaan sekitar. Bagiku, tidak ada kebudayaan yang pada awalnya teologis, semuanya selalu diangkut dari konteks, sehingga kebudayaan akan selalu kontekstual. Kebudayaan, selalu kontekstual. Tugas Gerejalah untuk menjadikan kebudayaan tersebut Teologis. Bagiku, suatu symbol yang digunakan haruslah pertama-tama kontekstual (memang begitulah adanya) yaitu mengangkat kebudayaan; barulah kemudian diberi makna teologisnya, itupun jika symbol itu digunakan dalam gereja {organisasi, lembaga atau gerakan berlatar belakang agama}. Akan menjadi berbeda ketika berbicara symbol yang digunakan menjadi logo suatu daerah atau lembaga kemasyarakatan. Ketika berbicara symbol daerah, yang harus ditekankan adalah makna kebudayaan, Mengangkat jati diri, dan kebudayaan daerah tersebut. Akan menjadi rancu dan membingungkan ketika kepercayaan keagamaan dijadikan alasan untuk membuat dan mengganti symbol kedaerahan; apalagi dengan alasan supaya teologis. Bagiku, haruslah dibedakan antara symbol keagamaan dan symbol kedaerahan; Symbol keagamaan haruslah kontekstual, yang sangat Teologis. Sedangkan symbol kedaerahan haruslah sangat kontekstual namun bukan berarti tidak teologis (itupun tergantung,)”. Ingatlah, symbol pertama-tama haruslah kontekstual kemudian mendapatkan nilai teologis.
1.      Symbol daerah tidak bisa selamanya bisa dihubungkan dengan kepercayaan Kristen. tonjolan utama dalam sebuah symbol daerah adalah kebudayaannya yang tentunya sesuai dengan konteks daerah tersebut. simbol daerah adalah jati diri sebuah daerah, nampakkanlah itu, Semangatnya haruslah tercermin dalam kehidupan masyarakatnya.
2.      Mengaitkan kebudayaan dengan kepercayaan Kristen. Memang harus diakui tidak semua kebudayaan bersesuai dengan kepercayaan Kristen, namun bukan berarti juga semua kebudayaan adalah buruk. Kebudayaan dapat dimasukkan makna teologis untuk menjadikannya sebagai sarana mengabarkan berita sukacita bagi banyak orang. Namun bukan berarti memaksakan symbol yang sangat teologis, dan tidak memperhatikan konteks symbol tersebut sehingga menjadi tidak kontekstual. Bagiku, bukan alasan yang tepat untuk menghilangkan kebudayaan demi alasan kepercayaan Kristen. Bagiku, kebudayaan adalah cerminan jati diri. Menghapus kebudayaan sama saja menghilangkan jati diri yang sesuangguhnya. Menjadi asing di negeri sendiri.
3.      Janganlah meremehkan sebuah symbol. Merumuskan sebuah symbol haruslah melewati pertimbangan yang sangat bijak dan matang. Mungkin itu juga yang dialami oleh mereka pada waktu yang lalu, yaitu; bergumul mempertimbangkan sebuah symbol supaya sesuai dengan jati diri daerah.
Pa…
Pa…
So boleh siap-siap staw…
Sapaan lembut tante Mike membuat Om Alo tersadar dari lamunannya ketika mengingat kembali kesimpulannya beberapa hari yang lalu. Om Alo melirik jam tangannya; ternyata benar, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi, Kopi susu dan pisang goroho yang dihidangkan pun telah habis, pertanda sudah waktunya bersiap-siap untuk memulai pekerjaan sebagai dosen pada salah satu Universitas terkenal di daerahnya. Seorang professor yang sangat menaruh minat terhadap kebudayaan Minahasa.
Sambil tante Mike membereskan gelas dan piring tempat kopi susu dan pisang goroho, om Alo masuk ke dalam rumahnya untuk bersiap-siap. Kesedihan melanda hati om Alo, artikel Koran yang baru saja dibacanya, merusak sukacitanya ketika akan mengawali hari; berganti dengan perasaan sedih dan geram. Om Alo berharapan, semoga Burung Manguni yang adalah symbol keminahasaan, tidak akan lekang oleh waktu, dan akan selalu dipertahankan serta dihormati.
Angki,,, kase panas akank itu oto konk antar pa papa ka kampuz ne… kembali suara lembut tante Mike memecah kesunyiaan pagi itu. Angki pun mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Bersambung…


No comments:

Post a Comment