Wednesday, March 14, 2012

judul 13


(Filipi 1:3-11)
ucapan syukur dan doa
(3) Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.
(4) dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.
(5) aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam berita injil mulai hari pertama sampai sekarang ini.
(6) akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.
(7) memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan berita injil.
(8) sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.
(9) dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dalam segala macam pengertian,
(10) sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus,
(11) penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.

KEBAHAGIAAN DARI BALIK JERUJI BESI
By. Leidy asterina Lontaan

            Apa kira-kira yang mengingatkan kita pada seseorang? Biasanya hanya ada dua jawaban untuk pertanyaan ini. Kalau bukan karena kebaikan dan jasa-jasanya, pasti karena keburukkan dan perbuatan jahatnya. Orang-orang yang berdiri di deretan antara yang baik dengan yang jahat umumnya tidak berkesan bagi kita. Merekalah orang-orang biasa. Kita bingung bagaimana caranya untuk tetap mengingat mereka. Coba tanyakan pada pak guru dan bu guru, siapa yang terkenal di sekolah? Jawabannya pasti yang paling pintar dan yang paling dungu; yang paling alim dan yang paling badung; yang paling cantik dan ganteng serta yang dianggap jelek. Nah, yang terakhir ini harus hati-hati dibicarakan. Tidak ada orang yang senang dianggap jelek. Dan ini memang harus jauh-jauh disingkirkan dari kamus hidup orang Kristen. Kita ini segambar dan serupa dengan Allah lho. Siapa yang berani mengatakan kita jelek, berhadapan dulu dengan Yang menciptakan kita.
            Surat Paulus kepada jemaat di Filipi memberi nuansa baru kepada kita; baik kita yang terbiasa hidup dalam segala kemudahan maupun kita yang senantiasa bergumul dengan aneka persoalan hidup. Di satu sisi nampak jelas bagaimana sukacita yang dirasakan Paulus; suatu kegembiraan yang tiada tara ketika mengingat dan mengenang keteguhan iman yang telah ditunjukkan oleh jemaat Filipi. Berkali-kali ia mengungkapkan sukacita, harapan dan kerinduannya untuk bertemu dengan jemaat tersebut. Ia bangga menyaksikan iman jemaat yang tetap terpelihara dan terus bertumbuh dari waktu ke waktu.
            Jemaat Filipi rupanya mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat dengan Paulus. Ada sesuatu yang istimewa dari jemaat Filipi ini sehingga hanya dari jemaat inilah Paulus mau menerima bantuan (4:15, 16). Betapa bangganya Paulus dengan persekutuan jemaat di Filipi ini dan betapa berkesannya jemaat ini bagi Paulus sehingga begitu besar pula kerinduannya untuk bertemu muka dengan mereka. Saya coba membayangkan bahwa Paulus waktu itu tersenyum sambil menangis terharu. Alangkah indahnya persekutuan hidup yang saling mengingat, saling mengenang, saling mendoakan dan saling merindu, seperti antara Paulus dengan jemaat Filipi ini. Kuncinya hanya satu, baik Paulus maupun jemaat Filipi masing-masing menyimpan kesan yang mendalam satu sama lain.
            Di mana pun kita pergi dan berada, kita meninggalkan kesan bagi orang-orang yang kita temui, demikian sebaliknya. Karena itu betapa pentingnya meninggalkan kesan yang baik bagi orang lain karena kesan yang kita tinggalkan itu akan membekas dalam kehidupan seseorang. Suatu saat jika orang tersebut mendengar nama kita, maka ia akan teringat pada kebaikan yang pernah kita lakukan. Jangan heran bahwa terkadang tanpa kita sadari, ada orang-orang tertentu yang senantiasa mendoakan bahkan merindukan kehadiran kita.
            Tetapi apakah ketika Paulus mengingat dan mengenang iman jemaat Filipi tersebut ia sedang ongkang-ongkang kaki di teras rumahnya sambil menikmati segelas kopi? Atau ia sedang berada di ruang kerjanya dan membaca buku hariannya bersama jemaat? Atau barangkali ia sedang rekreasi di tepi pantai sambil menikmati masa pensiun? Tidak! Khayalan kita itu sangat jauh dari kenyataan. Tidak ada masa pensiun. Tidak ada rekreasi. Tidak ada teras rumah dan segelas kopi. Yang ada hanya jeruji besi, lantai ubin yang dingin, dan ruangan yang pengap. Bilik penjara itu tanpa fasilitas apapun. Kehidupan Paulus rasanya setara dengan pendapat Kosuke Koyama, tak ada gagang pada salib. Tidak ada kemudahan. Salib itu tidak memiliki gagang yang memudahkan kita untuk memikulnya.
            Sepintas lalu, ini betul-betul ironi dalam kehidupan seorang yang telah memberitakan Injil dengan sukarela, tetapi pada akhirnya harus menjalani hidup sebagai seorang narapidana. Tidak ada orang yang ingin berada di posisi tersebut. Orang sekarang maunya mudah, yang gampang-gampang saja, yang instan, nggak pake lama, siap saji. Berbeda dengan Paulus. Seumur hidupnya, ia benar-benar telah menjadi teladan dalam hal penyangkalan diri. Ia menerima kenyataan hidupnya sebagai seorang rasul yang bekerja semata-mata untuk pekerjaan Tuhan tanpa tunjangan apapun. Ia tidak mencari kemudahan apapun. Malah dalam memberitakan Injil ia banyak mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis. Dalam banyak hal, ia tidak mau menjadi beban bagi orang lain.  Sungguh sebuah kehidupan yang pantas diteladani. Betapa sulitnya kini mencari orang-orang seperti Paulus. Orang-orang yang tidak mengharapkan imbalan atas pelayanannya.
             Kisah Paulus mungkin merupakan kisah tragis bagi kebanyakan orang. Ia menderita dan tertekan luar dalam. Tetapi mengapa ia bisa tetap bertahan hidup? Mengapa dalam situasi yang berat itu ia masih mampu mengucap syukur? Jawabannya ialah karena ia tidak memusatkan perhatian pada dirinya sendiri, pada penderitaan yang dialaminya. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangannya kepada orang lain, kepada karya nyata Allah dalam kehidupan mereka. Dari Paulus-lah kita belajar bahwa karya Allah dalam kehidupan orang lain ternyata dapat mendatangkan kebahagiaan bagi kita. Sebaliknya, karya Allah dalam hidup kita, sering tanpa kita sadari, mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain. Inilah dimensi lain dari kebahagiaan itu sendiri. Tidak selamanya kebahagiaan itu datang dari apa yang terjadi dalam hidup kita. Kehidupan orang lain pun dapat membawa kebahagiaan bagi kita asalkan kita bisa sejenak mengalihkan perhatian kita tidak melulu pada diri kita sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitar kita. Dengan demikian, sinar kebahagiaan itu tidak akan pernah redup dalam kehidupan kita karena kita mampu tersenyum menyaksikan kehidupan orang lain. Benarlah kata orang bijak, kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh seberapa bahagianya kita, melainkan seberapa bahagianya orang lain karena kehidupan kita. Sudahkah kita meninggalkan kesan yang baik bagi orang lain? Belajarlah dari jemaat Filipi dan teladanilah pola kebahagiaan Paulus. (LAL)






No comments:

Post a Comment