Thursday, December 30, 2010

LANGIT BARU DAN BUMI BARU? (Wahyu 21:1-2)


Dalam perjalanan sejarah umat percaya banyak bermunculan ramalan-ramalan mengenai akhir zaman. Pada tahun 2003 di Bandung ramai diberitakan tentang sekelompok orang yang meyakini bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 10 November tahun itu juga.  Tahun 1970-an di Amerika Serikat terdapat kelompok Jim Jones, tahun 1990-an ada kelompok David Koresh dan masih banyak lagi sekte-sekte dalam kekristenan yang telah muncul, sementara muncul dan mungkin saja masih akan muncul. Mereka bersedia meninggalkan semua kepunyaannya untuk mempersiapkan diri menantikan kedatangan Kristus dan hari akhir zaman.
Mereka bisa dikatakan sebagai kelompok fundamentalis Kristen. Kelompok ini menggunakan Alkitab, khususnya kitab Wahyu, sebagai bola kristal untuk meramalkan kedatangan Tuhan dan tentu saja akhir zaman. Seringkali perang, bencana alam dan kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam dunia dihubungkan dengan kitab Wahyu dan dikatakan kiamat akan datang atau Tuhan akan datang. Ciri-ciri kaum fundamentalis Kristen adalah menafsirkan kitab suci secara harafiah dan mencoba untuk menerka-nerka kapan Kristus datang. Mereka tertutup dan hanya meyakini merekalah yang paling benar.
Adapun pemahaman umat percaya mengenai kitab Wahyu berbeda beda. Jika Kaum fundamentalis mengganggap kitab Wahyu sebagai alat untuk meramalkan masa depan. Sebagian orang Kristen yang lain menganggap kitab Wahyu adalah kitab yang menakutkan karena berisikan hal-hal yang mengerikan mengenai penghakiman, penghukuman, peperangan, dan ada juga berpendapat bahwa kitab Wahyu adalah kitab yang sulit dimengerti karena berisikan bahasa-bahasa asing yang hanya bisa dimengerti oleh pendeta atau orang-orang yang belajar teologi.
            Nah, berdasarkan anggapan-anggapan di atas maka kita patut mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna menumbuhkan iman kepercayaan kita kepada Kristus. Bukankah Beriman selalu mengajukan bertanya. Apakah benar kitab Wahyu adalah bola kristal yang bisa meramalkan kapan datangnya akhir zaman? Ataukah sebuah penguatan dan motivasi guna penguatan iman jemaat? Dan apakah memang benar kitab Wahyu itu adalah kitab yang menakutkan dan sulit untuk dimengerti?
Sebenarnya kitab Wahyu bukanlah suatu kitab untuk meramalkan masa yang akan datang, tapi kitab Wahyu adalah kitab penguatan. Kitab yang menceritakan mengenai karya Yesus sebagai Juruselamat yang telah berlangsung, sementara berlangsung dan akan terus berlangsung. Kita mungkin bertanya, kok bisa kitab Wahyu yang nampak menakutkan berisi penguatan iman? Jawabannya, karena seperti kita ketahui bersama, umat percaya dalam masa awal kekristenan berada dalam penindasan yang sangat dasyat. Mereka dibakar hidup-hidup untuk dijadikan obor pada malam hari, disalibkan, disuruh untuk ber-duel dengan binatang buas, ada yang langsung dipancung kepalanya, dan mungkin yang paling ringan, diasingkan di pulau terpencil (seperti dialami oleh penulis kitab Wahyu yang dibuang di pulau Patmos). Kitab Wahyu menguatkan umat bahwa kasih Allah selalu ada dan baru; walaupun dalam keadaan yang menyulitkan.
Kitab ini merupakan kitab yang unik, menawan dan istimewa. Mengapa? Karena menceritakan kasih Allah terhadap umat percaya dalam suatu rangkaian cerita yang indah. Kitab ini adalah rangkaian kisah mengenai Yesus Kristus yang telah menyelamatkan umat, sementara bersama dengan umat dan menyiapkan kehidupan yang kekal bagi umat.
Kitab Wahyu menggunakan banyak simbol-simbol, bahasa kerennya menggunakan sastra apokaliptik yang banyak menggunakan bahasa-bahasa simbol. Inilah yang menjadikan kitab Wahyu sulit dimengerti oleh kita sebagai penerima kedua. Namun orang-orang yang menjadi penerima pertama yang berada dalam situasi penindasan sangat memahami isi dan maksud dari kitab ini karena menggunakan bahasa simbol yang dekat dengan kebudayaan mereka. Contoh GMIM mengunakan burung Manguni dalam lambang GMIM. Mengapa? Karena burung Manguni berakar dan dipahami dalam kehidupan bermasyarakat di tanah Minahasa. Burung Manguni dekat dengan orang Minahasa. Orang Minahasa tentu saja mengerti mengenai simbol dan makna dari  burung Manguni, namun hal ini tidak berlaku bagi orang yang di luar tanah Minahasa karena mereka memiliki kebudayaan yang tentu saja berbeda dengan kebudayaan di tanah Minahasa. Itu juga yang terjadi pada kita. Banyak simbol dalam kitab Wahyu yang tidak kita mengerti. Jadi, harus diteliti terlebih dahulu makna simbol itu bagi umat waktu itu.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa kitab Wahyu merupakan tulisan penguatan iman. Memberitakan tentang Kristus yang telah bertindak dan sementara bertindak menyiapkan kehidupan yang kekal bagi setiap umat yang taat dan setia. Refleksi umat yang berada dalam pergumulan karena penindasan yang bermaksud memberikan penguatan dan pengharapan agar memiliki semangat hidup untuk taat dan setia dalam iman kepercayaan kepada Kristus.
Dalam Wahyu 21 dituliskan mengenai langit baru dan bumi baru. kita ingat bahwa kitab Wahyu dipenuhi dengan bahasa symbol, maka jelaslah bahwa langit dan bumi baru bukanlah  menunjuk pada bola bumi yang baru dan isinya yang baru. Dalam bahasa Alkitab, kata baru mempunyai dua arti: yang satu “baru” dari kata neos yaitu baru dalam pengertian waktu. Contoh mobil yang lama. Setelah bosan kita ingin menggantinya dengan mobil yang baru, lebih mewah, lebih indah, lebih gaul yang tentu saja lebih mahal. Masih merupakan sebuah mobil tapi bukan lagi mobil yang dahulu melainkan mobil yang berbeda. Pokoknya mobil yang baru! Benar-benar baru, berbeda dari yang lalu. Ada juga “baru” dari kata kainos yaitu suatu keadaan yang baru. Kainos hanya dapat dihasilkan dan dikerjakan oleh Allah. Langit dan bumi yang sama namun keadaan yang berbeda. Contoh ketika kita letih seharian harus bekerja, sebagai guru, pegawai, dll. Malamnya harus menyelesaikan tugas yang menumpuk. Tentu saja setelah itu kita merasakan keletihan yang sangat. Lalu kita beristirahat dan bangun pada esok hari dengan tubuh yang segar. Orang yang sama namun keadaan yang berbeda. Malamnya letih; paginya segar bugar. Malamnya sedih; paginya mungkin gembira. Itulah kainos! Pribadi yang sama atau bisa saja barang yang sama dengan keadaan yang berbeda. Bumi dan langit yang sama tetapi telah diperbaharui. Pembaharuan itu telah berlangsung, sementara berlangsung dan akan terus berlangsung.
Dalam wahyu 21 juga diceritakan mengenai sang pelihat yang melihat sebuah Yerusalem baru. Ini bukan kota Yerusalem di Israel namun lebih pada persekutuan orang yang percaya. Menunjuk pada gereja, persekutuan orang-orang yang telah dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang Kristus yang ajaib. Orang-orang yang telah diperbaharui karena kasih Kristus. Dahulu orang yang berdosa. Sekarang; menjadi anak-anak Allah. Kitalah itu! Kitalah Gereja! Kitalah orang-orang yang telah diperbaharui. Meninggalkan yang lama dan menjawab yang baru. Orang yang sama dengan keadaan yang berbeda. Dahulu orang berdosa sekarang anak Allah. Sebab itu, sebagai orang yang telah diperbaharui, kita patut menunjukkan sikap dan tindakan hidup sebagai orang yang telah diperbaharui. Kehidupan yang berbahagia adalah kehidupan dimana kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi kita, yang tentu saja berdampak pada sikap dan tindakan hidup; mengikuti teladan Kristus.
Lewat perenungan ini kita dapat meyakini bahwa Allah yang telah menyelamatkan dan sementara berkarya sekarang ini, selalu menunjukkan kasih-Nya dan sedang menyiapkan masa depan yang gemilang bagi orang percaya. Pertanyaan bagi kita sebagai gereja, apakah penglihatan dalam kitab Wahyu mengajarkan kita untuk menunggu saja? Meninggalkan segala sesuatu yang kita miliki dengan Alasan untuk bersiap menyambut kedatangan Tuhan? Ataukah menikmati pembaharuan Kristus dengan sikap dan tindakan yang benar-benar telah dibaharui?


FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24 renungan tentang kebahagiaan
2009

HIDUPMU = MAZMURMU! (Mazmur 150)

Tremper Longman III dalam bukunya “Bagaimana Menganalisa Kitab Mazmur?”  menulis:  “Buka kitab Mazmur ketika Anda bersukacita dan Anda merasakan bahwa segala sesuatu benar. Nyanyikanlah keluhan kepada Tuhan ketika kehidupan Anda kelihatan hancur luluh, ketika Tuhan mendengar doa Anda jangan lupa bersyukur kepada Dia untuk kebaikan-Nya. Ketika Anda dalam ketakutan biarlah Anda boleh dikuatkan oleh mazmur keyakinan. Perhatikan baik-baik mazmur hikmat. Lebih dari pada itu, baca kitab Mazmur untuk menjadi jujur dengan Tuhan”. Jelaslah bahwa kitab Mazmur adalah sebuah kitab yang unik sekaligus sangat indah. Menggambarkan suatu pertemuan yang hangat antara Allah dan manusia; berisikan ungkapan-ungkapan hati umat berdosa yang dengan jujur ingin “curhat” kepada Tuhan; berisi obrolan yang jujur dan penuh keterbukaan antara Allah dan manusia; menjadi tempat bagi manusia berdosa meyakini akan kuasa dan keperkasaan Allah; tempat bersandar dalam kesedihan, mengaduh dalam ketakutan, bertanya dalam persoalan, dan mendapatkan kepastian dalam kebahagiaan.
Keunikan dan keindahan kitab Mazmur terpancar juga ketika kita membaca dan merenungkan Mazmur 150. Mazmur ini merupakan ungkapan kebahagiaan yang tergambar lewat ajakan untuk mengangkat pujian kepada Allah. Suatu ajakan agar didengar kemudian dituruti haruslah mempunyai alasan yang jelas. Contohnya, ketika kita mengajak seorang teman untuk membuka tempat usaha tentu kita harus menyakinkannya dengan alasan-alasan yang tepat. Begitu pun pemazmur, agar ajakannya ini didengar dan dilakukan, ia memberikan alasan mengapa umat memuji Tuhan, yaitu “karena keperkasaan-Nya dan karena kebesaran-Nya yang hebat”. Dalam kehidupan umat Israel pemazmur mengingat kembali perbuatan-perbuatan keselamatan yang dikerjakan Allah dan kebesaran Allah yang selalu melakukan keajaiban-keajaiban besar dalam kehidupan umat Israel.
 Pertanyaannya, mengapa kita sekarang ini memuji Tuhan? Jawabnya, karena karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Allah yang datang ke dalam dunia menjadi sama dengan manusia dan menganugerahkan keselamatan bagi manusia yang berdosa. Lewat karya-Nya, manusia keluar dari kegelapan dosa menuju terang Kristus yang ajaib. Inilah alasan utama kita menaikan pujian kepada Tuhan, karena Kristus! Adapun alasan-alasan pendukung – supaya lebih meyakinkan – yaitu nafas kehidupan yang masih kita rasakan; hari baru untuk merangkai masa depan; pasangan hidup yang membuat hidup lebih berarti dan masih banyak lagi.   
Memuji Tuhan bukan suatu kewajiban demi mendapatkan berkat atau pun mengejar keselamatan. Melainkan semata-mata respon manusia atas anugerah keselamatan yang telah diberikan Allah. Kasih Allah kepada manusia tidak mengharapkan balasan, apalagi mengharapkan suatu pujian. Tuhan bukanlah pribadi yang mengharapkan balasan jasa atas tindakan-Nya, melainkan suatu pribadi yang tulus. Kasih Allah adalah kasih “agape”, tulus tanpa mengharapkan imbalan. Tapi mengapa terdapat ajakan untuk memuji Tuhan? Memuji Tuhan sekali lagi merupakan respon bukan tuntutan. Pujian manusia kepada Tuhan sebagai bentuk keyakinan bahwa Dialah Tuhan dan Juruselamat. Memuji Tuhan adalah suatu ungkapan iman bahwa tanpa Tuhan manusia tidak berarti apa-apa. Dengan memuji Tuhan, manusia mendapatkan ketenangan dan memiliki suasana hati yang penuh dengan kebahagiaan. Pujian kepada Tuhan sebagai bukti kesungguhan kasih manusia kepada Tuhan. Intinya, menaikkan pujian kepada Tuhan karena keyakinan iman bahwa hidup kita adalah milik kepunyaan Tuhan.
Lalu di manakah kita harus memuji Tuhan? Pasti di gereja, bukan? Tuhan tidak memberikan suatu ketetapan di mana kita harus memuji Dia. Toh, Dia juga tidak meminta atau memaksa pujian dari kita. Lagi pula sekaya apapun manusia tidak mampu membalas semua pemberian Tuhan. Bagi Tuhan, yang terpenting adalah ketulusan kita untuk memberikan pujian; Soal tempat di manapun boleh. Ketika sedang ke pasar. Ke sekolah. Ke tempat kuliah. Ke tempat kerja. Ke mana pun dan di mana pun kita pergi kita dapat memuji dan memuliakan Tuhan. Wah, repot! Berarti kalau ke sekolah atau tempat kerja harus sambil menyanyi, bisa dikira orang gila kita! Memuji Tuhan bukan hanya dengan menyanyi. Jika mempunyai talenta untuk menyanyi, syukurilah itu dan gunakanlah talenta itu untuk memuji Tuhan, tapi ada tempatnya. Pujian yang sejati adalah mempersembahkan kehidupan kita untuk-Nya. Contoh, jika kita seorang Pegawai Negeri Sipil, maka bekerjalah untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan negara. Jika kita seorang mahasiswa, belajarlah dengan keras untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Talenta untuk menyanyi hanya satu dari sekian banyak talenta yang diberikan Tuhan kepada manusia, masih banyak talenta yang lain yang bisa digunakan untuk memuji dan memuliakan Tuhan.
Menjawab pertanyaan tadi, mempunyai talenta menyanyi bukan berarti harus selalu menyanyi di mana pun dan kapan pun. Menyanyi untuk memuji Tuhan ada tempatnya, bukan? Tapi, jika Anda ingin mencoba untuk memuji Tuhan di mana pun anda berada dan kapan pun, silakan saja! Tidak ada yang melarang tapi resikonya ditanggung sendiri. Loh, tapi tadi dikatakan dimana pun dan kapan pun boleh memuji Tuhan? Berarti dengan menyanyi, bukan? Ya, di mana pun dan kapan pun boleh, tapi dengan sikap dan tindakan. Memuji Tuhan lewat nyanyian ada tempatnya dan sekali lagi hanya satu dari sekian banyak talenta yang diberikan Tuhan. Tetapi memuji Tuhan dengan kehidupan kita bisa di mana pun dan kapan pun. Mudah-mudahan sudah jelas. Okey!
Ketika membaca ayat 3-5, ditulis mengenai cara-cara dalam rangka menaikkan pujian kepada Tuhan. Bisa dengan memainkan gambus, kecapi, rebana, seruling, ceracap dan membawakan tari-tarian.  Cara-cara  yang digunakan ini berlaku dalam ibadah umat pada konteks Israel, yang dalam situasi kita sekarang berarti mempergunakan semua talenta dalam hidup kita untuk memuji Tuhan. Pujian kepada Tuhan bukan hanya sebatas sebuah lagu atau nyanyian, namun pujian yang paling indah di hadapan Allah sekali lagi adalah hidup kita. Buatlah hidup ini berarti bagi diri sendiri, orang lain dan bagi Tuhan. Menjadi kebahagiaan iman ketika kita mampu mempersembahkan hidup kita sebagai pujian yang indah untuk Tuhan. Hidup kita adalah Mazmur (bahasa Ibraninya “Tehillim” yang dapat diartikan nyanyian pujian) yang sangat indah bagi Tuhan. Hidupmu adalah mazmurmu! Jika kehidupan kita bisa menjadi “mazmur” bagi Tuhan maka itulah kehidupan yang berbahagia! Akhirnya, seperti harapan pemazmur dan harapan semua orang percaya di dunia “Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! Haleluya!

FPK
Diterbitkan dalam Makari05; 24 Renungan tentang kebahagiaan
2009

HATI YANG TULUS DAN PERCAYA; ITULAH KEHIDUPAN YANG BERBAHAGIA! (Matius 5:8)


Orang yang suci hatinya? Pasti kita langsung berpikir bahwa ucapan Yesus ini ditunjukkan kepada orang-orang yang tanpa dosa. Orang-orang yang hidup alim, rajin ke gereja, penatua, syamas, dan pendeta. Betul! Tidak juga. Rajin ke gereja, penatua, syamas bahkan Pendeta, bukan berarti tidak pernah berbuat dosa. Lupakah kita bahwa setiap orang adalah manusia berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Tuhan? Dalam Roma 3:23 dijelaskan  “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.
Suci hatinya menunjuk pada hati yang terang, ikhlas, hati yang percaya. Tulus mengaku diri sebagai manusia berdosa dan datang meminta pengampunan kepada Tuhan. Merasa dan mengaku sebagai orang berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Allah.
Ucapan Yesus ini sebenarnya merupakan sebuah kritikkan terhadap mereka yang merasa diri tanpa dosa, mereka yang merasa diri dapat mengejar keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri; dengan menjalankan praktek-praktek keagamaan. Pada zaman ketika Yesus berkarya di dalam dunia, banyak orang yang merasa diri sanggup mengejar keselamatan/ kemurahan Allah dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Mereka merasa diri memiliki kelebihan rohani, memiliki kebenaran sejati. Mereka sangat rajin beribadah, rajin berdoa, rajin membawa persembahan kepada Tuhan bahkan tahu banyak mengenai Taurat Tuhan dan selalu berusaha menjalankannya. Namun, tindakan keagamaan yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan sikap yang mereka tunjukkan. Mereka mengganggap orang lain tidak pantas bahkan tidak mungkin mendapatkan kemurahan Allah karena tidak mampu menunjukkan ketaatan seperti yang mereka lakukan. Lebih parahnya lagi, motivasi mereka menjalankan upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh pujian dan pengakuan.
Bagi Yesus, mengandalkan diri sendiri dalam mengejar keselamatan/ kemurahan Allah merupakan kesombongan rohani. Orang yang suci hatinya adalah orang yang tulus membagi kasih tanpa mengharapkan imbalan atau pujian. Yesus melihat bukan apa yang nampak oleh mata melainkan ketulusan hati untuk melakukan. Semua yang dilakukan adalah respon iman, Bukan karena kehebatan dan kekuatan diri sendiri melainkan kesadaran sebagai manusia lemah yang selalu membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Yesus tidak menginginkan umat-Nya bagaikan buah “kadondong” yang kelihatan licin, dan mulus di luar tapi di dalamnya penuh dengan duri; atau bagaikan sebuah gedung gereja yang megah tapi anggota jemaatnya kurang memberi diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah; atau pula seperti kantor dengan gedung yang mewah namun situasi dan keadaan di dalamnya tidak nyaman bahkan hampir bangkrut.
Yesus tidak menginginkan kita kelihatan baik hanya pada luarnya saja, tapi dia ingin ketulusan dari lubuk hati terdalam; tentu saja bermuara pada sikap hidup yang baik di dalam dunia. Ibarat mendirikan rumah, yang harus dibangun terlebih dahulu adalah pondasinya yang kuat, baru kemudian dipoles menjadi rumah yang indah. Bagaimana jadinya sebuah rumah yang pondasinya dibuat asal-asalan? Walaupun indah dipandang tapi menyimpan “bom waktu” yang siap meledak. Begitu juga dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya, yang harus dibangun dahulu adalah ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Hati yang tulus dan percaya! Itulah pondasi yang paling kokoh.
Pernahkan kita merasa bahwa memberikan persembahan adalah sebuah beban? jika pernah, mungkin hal itu terjadi karena kita menganggap persembahan adalah sebuah kebiasaan yang harus diberikan anggota jemaat; terlebih lagi memberi supaya memperoleh pujian. Persembahan kepada Tuhan menjadi beban karena dilandasi oleh motivasi yang keliru. Kekeliruan ini berdampak pada kerelaan memberikan persembahan; yang diberikan hanya sisi-sisa dari pengeluaran keuangan selama seminggu. Berbeda jika persembahan yang kita berikan didasarkan pada hati yang tulus sebagai respon atas anugerah Tuhan dalam kehidupan kita. Maka, persembahan yang kita berikan bukan lagi menjadi sebuah beban tapi suatu kebahagiaan. Memberikan yang terbaik kepada Tuhan bukan memberikan sisa uang belanjaan.
Marilah kita merenung dengan hati yang tulus, pernahkah kita mengakui bahwa kita adalah manusia yang berdosa? Pernah! Syukurlah. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa pengakuan dosa yang tulus dihadapan Allah dimulai dari hati yang tulus dihadapan Allah. Dimulai dari hati yang tulus, kemudian percaya. Benar-benar menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah bukan karena tuntutan liturgi dalam ibadah atau tuntutan pergumulan yang berat dalam hidup, baru kita ada waktu untuk mengaku dosa di hadapan Allah.
Aktif dalam kegiatan gereja, rajin menyumbang di gereja dan rajin memberikan persembahan bahkan memberikan persembahan persepuluhan secara rutin, itu baik! Sangat baik malah. Namun bukan itu yang diinginkan Tuhan. Yang terutama adalah hati kita, kemudian tindakan yang dilakukan. Maksudnya, hati yang tulus dan ikhlas kemudian bermuara pada tindakan yang menyenangkan Tuhan. Ketulusan hati membawa pada pengakuan sebagai manusia berdosa dan secara sadar menyandarkan kehidupan kepada Tuhan sebagai empunya kehidupan. Inilah kehidupan yang berbahagia! Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan. Mengakui sebagai manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah, itulah kebahagiaan yang sejati. 
Akhirnya, orang yang “suci hatinya” janji Allah, “...mereka akan melihat Allah”. Allah yang telah berkarya, sementara berkarya dan akan terus berkarya di dunia ini.


FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24 renungan tentang kebahagiaan
2009

DI BALIK PENGANIAYAAN, ADA KEBAHAGIAAN (Matius 5:10)

Banyak orang mungkin sering bertanya, bagaimana kehidupan yang berbahagiaitu? Ketika kita tanyakan kepada seorang pemain sepak bola profesional, dia pasti akan menjawab ketika mencetak gol, dan timnya memenangkan suatu pertandingan besar. Bagaimana dengan jawaban seorang mahasiswa? Mungkin dia akan menjawab ketika lulus ujian dan menjadi seorang sarjana. Lalu ketika ditanyakan pada seorang ibu, bisa jadi dia akan menjawab ketika melihat anak-anaknya sukses dalam hidup. Jawaban-jawaban ini mengaitkan kehidupan yang berbahagia dengan situasi yang dialami. Keadaan yang menyenangkan, bersukacita, beruntung, perasaan senang, tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan bermuara pada kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan sesaat.
Yesus berkata, ”berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Dianiaya? Dianiaya adalah suatu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaaan bahagia. Bagaimana mungkin orang yang dianiaya dapat berbahagia? Apakah keadaan dianiaya bisa dikatakan “kehidupan yang berbahagia”? tidak mungkin-lah! Ucapan yang sangat aneh. Masakan berbahagia sedangkan berada dalam suatu keadaan dianiaya. “Kehidupan yang berbahagia” berhubungan dengan kehidupan yang menyenangkan. Oleh sebab itu, sangat aneh jika seseorang yang berada dalam pergumulan dan penganiayaan kemudian dikatakan berbahagia. Menurut Nietzsche (itu loh, seorang filsuf yang terkenal dengan konsepnya mengenai “manusia super”), kekuasaan, keunggulan, kegagahan dan kecemerlangan adalah kebahagiaan. Jadi sangat aneh baginya mengenai konsep kebahagiaan dalam penganiayaan walaupun karena kebenaran sekalipun. 
Ucapan yang aneh memang kalau diteropong dari sudut pandang dunia. Tapi marilah kita mencari tahu maksud ucapan Yesus ini. Dalam ucapan ini Yesus berkata “…oleh sebab kebenaran”. Pada zaman Yesus hidup dahulu orang-orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran adalah orang-orang yang dikasihi Allah. Mari kita membaca kesaksian 1 Petrus 3:14, “tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia…”. Dikasihi Allah karena berada dalam kebenaran, berada pada jalan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan, yang secara otomatis menjauhi tindakan-tindakan yang tidak berkenan di hadapan Allah. Namun sikap dunia seringkali tidak bersahabat terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran sehingga melakukan segala hal untuk memusnahkan kebenaran. Orang benar cenderung dimusuhi oleh dunia sehingga banyak orang tidak mau menjadi orang benar karena tidak mau menderita di dalam dunia.
Alasan berikutnya, kita harus menyentil ayat 11 dalam ucapan bahagia. Yesus berkata “...karena Aku”. Berbahagialah setiap orang yang dianiaya karena iman kepercayaannya yang teguh. Mengikut Yesus, walaupun berada dalam penderitaan dan pergumulan kehidupan. Kehidupan yang berbahagia ternyata bukan hanya suatu keadaan yang menyenangkan tetapi bagi Yesus, “kehidupan yang berbahagia” adalah kehidupan dalam kebenaran sehingga selalu hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Menjadi pengikut Kristus bukan berarti kita akan berada dalam kehidupan yang menyenangkan; semua yang kita harapkan tercapai dan semua yang kita inginkan terpenuhi. Yesus tidak menjanjikan kehidupan indah bagi pengikut-Nya di dalam dunia. Yesus sendiri mencontohkan mengenai penderitaan ketika berpegang pada kebenaran. Yesus yang tanpa dosa harus mati, bahkan dengan cara disalibkan. Perlu diketahui, hukuman salib merupakan hukuman yang diberikan kepada penjahat-penjahat kelas berat. Namun dengan kematian-Nya di kayu salib semua manusia diselamatkan dari dosa.
Pergumulan juga dialami oleh umat percaya pada abad mula-mula. Banyak penganiayaan yang mereka hadapi ketika harus mempertahankan iman kepercayaan; mereka dianiaya dengan cara-cara yang sangat keji. Namun toh, kekristenan malah semakin meluas dan nama Tuhan semakin ditinggikan. Semakin dibabat, eh, malah semakin merambat. Jelaslah bahwa orang yang hidup dalam kebenaran pasti memperoleh tuntunan Allah. Dunia memang memusuhi orang benar tapi Tuhan mengasihi orang benar. Jadi, mana yang kita pilih: bersahabat dengan dunia atau bersahabat dengan Allah? Bersahabat dengan Allah tentunya! Bagus. Tapi bersahabat dengan Allah ada konsekuensinya. Menderita!
Marilah kita menghayal sedikit – dikit-dikit menghayal itu perlu juga­ – Bagaimana jadinya kepercayaan kita jika Yesus tidak menderita dan mati? Apakah Dia akan bangkit ? Jika itu terjadi, maka kata Paulus, sia-sialah pemberitaannya dan kepercayaan kita, “tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu”. Dan Bagaimana jadinya jika gereja mula-mula tidak menderita melainkan hidup dalam banyak kenyamanan dunia? Apakah kekristenan kita akan seperti sekarang ini ataukah sudah mati?
Setiap umat percaya di dalam dunia tidak akan luput dari masalah, kesukaran dan penghambatan. Itulah yang harus dijalani, janganlah lari atau menghindar karena semakin kita menghindar, cepat atau lambat pasti akan kita jalani. Hadapilah dan berusahalah untuk mengatasinya sesuai dengan kehendak Tuhan, artinya berpegang pada kebenaran. 
Kebahagiaan yang dirasakan karena suatu keadaan yang berbahagia bisa jadi merupakan kebahagiaan yang lekang oleh waktu; seperti pelangi sehabis hujan yang hanya akan menunjukkan keindahannya dalam waktu singkat kemudian hilang atau seperti kupu-kupu yang sangat indah namun hanya berumur sehari. Kebahagiaan seperti ini selalu di bayang-bayangi oleh pergumulan dan tantangan kehidupan. Maksudnya, dibalik indahnya kebahagiaan karena umur panjang terdapat pahitnya kehidupan untuk mengejar cita dan harapan. Dibalik manisnya cinta terdapat sakitnya putus cinta. Maksud saya, bisa jadi kebahagiaan dalam dunia adalah awal pergumulan dari manusia. kebahagiaan ketika lulus kuliah menjadi sarjana merupakan awal dari pergumulan mencari pekerjaan, bergumul dengan kesibukan untuk mempersiapkan masa depan. Kebahagiaan karena kelahiran anak yang pertama adalah awal dari pergumulan untuk mendidik dan merawat sang anak untuk menjadi lebih baik. Kebahagiaan hanyalah bumbu dalam kehidupan manusia. Kebahagiaan itu datang lalu kembali pergi meninggalkan kita dengan pergumulan hidup yang baru. Jelaslah semua manusia selalu berada dalam penderitaan dan pergumulan, tidak bisa lari, menghindar atau bersembunyi! Kesimpulannya, orang yang bergumul adalah orang yang berbahagia, terlebih mereka yang bergumul karena kebenaran. Berarti ucapan Yesus “berbahagialah orang yang dianiaya sebab kebenaran” benar, bukan?
Akhirnya, kehidupan yang berbahagia adalah kehidupan yang berpegang dalam kebenaran dan selalu melaksanakan kehendak Tuhan dengan hati yang tulus ketika berada dalam pergumulan dan tantangan kehidupan.
FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24 renungan tentang kebahagiaan
2009
            

DESEMBER; CURAHAN HATi SEORANG HAMBA

Suatu sore, di pelataran rumah sederhana, tua dan hampir roboh. Duduklah seorang pria dengan segelas kopi terhidang dihadapannya. Sore yang dingin, berangin, dan mendung; bersiap untuk hujan. Sosok pria yang tampak sangat capek, tidak bersemangat, dan mungkin sedang sakit. “Bulan Desember kembali menyentuh tanggal 25. Natal kembali menyapa. Dan, tanpa terasa bulan Desember segera berakhir. Huff… Bulan yang sangat melelahkan” itulah kalimat yang terucap pelan dari bibirnya.
Pikiran pria itu pun melayang. Dia mengingat kembali masa pelayanan di awal bulan Desember. Ketika ibadah-ibadah pohon terang banyak dilakukan; Baik BIPRA, kolom, rukun sosial, gebed, P/Remaja rayon, dan pohon terang lainnya. Ketika undangan ibadah pohon terang tidak pernah berhenti berdatangan setiap harinya. Dan, Jadwal memimpin ibadah pohon terang, tidak ada habisnya. Jadwal yang masih diperpadat dengan memimpin ibadah HUT jemaat, ibadah minggu, dan syukuran keluarga.
Hati pria itu berkeluh dan mulai berkisah:
Bulan Desember; Benar-benar sangat melelahkan dan bisa jadi menyedihkan hati. Mengapa tidak? Di bulan Desember, aq tidak memiliki waktu untuk mengurus atau memanjakan diri; apalagi menyediakan waktu untuk bersantai dengan keluarga. Di bulan Desember, Anak-anakku sering bertanya, “mengapa papa sangat sibuk? Kapan ada waktu dengan kami?” apa yang harus ku jawab. Haruskah aq mempersalahkan pelayanan ini. Panggilan yang telah aq terima dengan segenap hati, beberapa tahun yang lalu. Sungguh, seringkali aq merasa jenuh dengan keadaaan ini. Bukankah Aku juga hanya seorang manusia biasa yang membutuhkan waktu untuk bersantai; Memanjakan diri, dan membahagiakan keluargaku. Jujur, aq merindukan masa-masa dimana dapat keluar dari rutinitas pelayanan ini. Apakah aq harus mempersalahkan jalan hidup yang sudah kupilih ini? Bukankah dulu, aq telah diberikan banyak jalan/ kesempatan oleh-Nya untuk memilih dan menentukan masa depanku. Memiliki kesempatan untuk menjadi PNS, pengusaha, petani, dan anggota dewan. Toh, aq mengesampingkan semua kesempatan itu, dan tetap teguh memilih dan menerima tugas panggilan ini; tentu dengan segala konsekuensi yang harus ku jalani.  Oh, Desember… Bagi sebagian orang menjadi hari yang mengembirakan; karena dapat berkumpul dengan keluarga, berbagi pengalaman dengan sesama, merayakan natal, dan keluar dari rutinitas pekerjaan. Tapi bagiku, merupakan Desember kelabu. Justru di bulan inilah jadwal pelayananku menjadi lebih padat, dan aq menjadi seorang yang super sibuk. Tidak ada waktu untuk bersantai, dan berbagi dengan keluarga.
Teringat masa-masa diawal bulan desember ini. Pagi-pagi benar aku harus mempersiapkan diri melakukan perkunjungan, dan ibadah HUT; jika diminta keluarga/ Pelsus supaya dilakukan perkunjungan pada pagi hari. Dan Biasanya, di bulan Desember ini permintaan pelayanan HUT kebanyakkan pagi hari. sudah tentu, Aq harus kehilangan waktu berharga dengan keluarga. Aq Harus keluar rumah sebelum anak-anak terbangun dari tidur mereka, dan baru kembali ketika matahari sudah meninggi. Aq tidak memiliki waktu untuk sekedar berucap selamat pagi; ketika mereka terbangun dari mimpi indah mereka. Sebelum anak-anak libur sekolah dahulu, aku baru kembali ketika anak-anak sudah berangkat sekolah. Sungguh terbayang bagaimana sedihnya anak-anakku ketika bangun dan ke sekolah, ketika sang ayah tidak menyambut dan mengantar mereka. Aq tidak memiliki kuasa untuk mengantar anak-anakku bersekolah, bahkan hanya sekedar memberikan wejangan, Atau nasihat singkat untuk berhati-hati, baik dijalan maupun disekolah. Aku sedih, namun sungguh, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Sesampainya dirumah dari pelayanan HUT, Aku hanya memiliki waktu sejenak untuk beristirahat. Sekedar untuk merenggangkan otot kaki, atau memanjakan mata dengan menonton sesuatu, atau mengisi perut atau pun membersihkan tubuh dengan mandi. Untunglah aq dianugerahi seorang istri yang pengertian, baik dan tentu saja cantik. Sebelum dia berangkat kantor, dia telah menyiapkan makan pagi bagiku. Tertutup rapat di meja makan lengkap dengan perlengkapan makannya. Aku sangat bersyukur memiliki istri sepertinya. Dia tidak pernah komplain dengan pelayananku yang sangat padat ini. Terkadang dia mau menjadi teman curhatku sebelum tidur. Sungguh seorang wanita yang pengertian.
Di bulan Desember ini, Sangat jarang/ atau bahkan memang tidak pernah, kami sekeluarga duduk bersama di meja makan ini untuk makan bersama, saling menanyakan kabar, dan bercanda satu dengan yang lain. Aku seringkali harus “smocol” pagi jika matahari sudah diatas kepala. Ketika istri dan anak-anakku sudah memulai aktivitas mereka. Sekarang ini pun aku harus ditemani kursi kosong ketika menikmati makanan lesat buatan istriku tercinta. Selesai makan, biasanya aku sudah harus bergelut dengan buku-buku tafsiran, renungan dan tentu saja Alkitab. Aku harus mempersiapkan khotbah untuk memimpin ibadah pohon terang, atau menyiapkan khotbah HUT dan tentu saja ibadah minggu berjalan. Belum lagi aku harus menyiapkan liturgi pada ibadah pohon terang dan ibadah minggu. Bahkan, sering terjadi, aq lupa untuk makan siang. Ada kalanya makan siang nanti terpikirkan ketika ditanyakan oleh istriku ketika dia pulang kantor pada pukul 4 sore. Waktu makanku memang tidak teratur; kadang jika teringat dan perutku tidak mau berkompromi dan otakku sudah memang benar-benar “blank”; baru aku beranjak dari meja tulisku menuju meja makan, tepat jam 12 siang. Ada kalanya lewat sedikit, tapi tidak lewat dari pukul 1 siang. Tapi, jika aku terbuai dengan khotbah yang ku susun, tentu perutku harus bersabar dan berkompromi dengan keinginan hatiku. Jadilah Aku makan siang pada pukul 4 sore; itu pun setelah diingatkan oleh istriku.
Pukul 5, aq sudah harus bersiap untuk pelayanan ibadah pohon terang. Aku hanya mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat. Jam 6, ibadah pohon terang sudah dimulai. Belum lagi Ibadahnya selesai, HP ku sudah puluhan kali bergetar. Tentu aku sudah mengetahui maksudnya, “apakah ibadahnya sudah selesai? Kami sudah banyak terkumpul dan sudah siap untuk beribadah.” Itulah kalimat yang keluar dari HP saat kuangkat. Terpaksa, Selesai ibadah, aq sudah harus cepat-cepat bergegas untuk pindah ke tempat lain. Dan sama; memimpin ibadah natal.  Aq tidak memiliki waktu untuk sekedar bercerita dan mencicipi hidangan natal yang disiapkan jemaatq. Aku yakin; tentu mereka sedih karena aq tidak tinggal lebih lama, tapi aq sangat yakin mereka memaklumiakan hal ini. Aq berpikir, sebagai seorang pelayan aku melalaikan percakapan dengan jemaat yang sebenarnya sangat berguna untuk mengetahui permasalahan dan pergumulan mereka.
Hampir setiap hari di bulan Desember, aktivitasku seperti ini. Aku baru bisa menginjakkkan kaki di rumah tinggalku, namun kepunyaan jemaat; ketika anak-anakku sudah kembali pulas tertidur, beristirahat dan terbuai dalam mimpi indahnya. Aku hanya bisa menatap meraka, sambil berkata “selamat Tidur”. “Sungguh, ayah sangat sayang kepada kalian”. Aku bersyukur karena selalu ada sosok wanita berparas cantik yang selalu menunggu kepulanganku Bahkan, dia selalu menghibur dan rela mendengarkan kisah pelayananku. Dialah istriku.
Teng… Teng… Teng… Teng… Teng…
Jam dinding pada ruang tamu rumahku berbunyi 5 kali. Sudah pukul 5 sore ternyata. Tanda bagiku untuk segera bersiap-siap melakukan pelayan perkunjungan HUT. Kebetulan hari ini DIA yang ber-Hari Ulang Tahun meminta pelayanan perkunjungan dilakukan pada malam. “Ada yang KITA persiapkan for mo kase pa pelayan yang sangat rajin, jadi bekink malam jo”. itulah kalimat yang diucapkan oleh SANG OPA yang pada hari ini berulang Tahun. Aq tidak tahu apa maksud perkataan-Nya, dan aq pun tidak memikirkannya. Aq sudah sangat puas dengan berbagai macam bingkisan natal yang dihadiahkan jemaat padaku. Ups… Aq harus segera bersiap, ibadah-ibadah Pohon terang memang telah usai tapi karya pelayanan masih terus berjalan.
Hawa dingin masih sangat terasa, hujan pun sudah mulai turun dengan sangat derasnya. Terdengar pelan sebuah doa dari bibir sosok pria itu; “Oh, Tuhan. Kuatkanlah aq agar bisa menunaikan Tugas panggilan ini dengan baik. Pilihanku untuk menjadi pelayan-Mu tentu memiliki konsekuensi; kehilangan waktu berharga dengan keluarga. Tapi inilah pilihanku. Mampukan aq untuk menuntaskan pilihanku ini, sampai ajalku menjemput. Satu yang kuminta pada-Mu. Temanilah anak-anak dan istriku, buatlah mereka mengerti pelayananku ini”. Sosok pria itu segera menghabiskan Kopi yang terhidang dihadapannya, dan dengan langkah yang berat, sosok pria itu masuk ke dalam rumahnya; rumah sederhana, tua, dan hampir roboh.



2,28,12,201017181987

Thursday, December 23, 2010

TAHUN BARU; SELAMAT MERENUNG, BERGUMUL DAN MERANGKAI MASA DEPAN.


 Konon, hiduplah seorang kakek yang sangat bijak, pintar dan memiliki banyak pengalaman dalam perjalanan kehidupannya. Dimasa tuanya ini, dia tinggal dalam sebuah rumah yang mewah dan indah. Dimasa tuanya, sang kakek memiliki semua yang diinginkan dan diidam-idamkan oleh semua orang yang hidup, berusaha dan berkarya dalam dunia; baik kekayaan, kedudukan, keluarga dan penghormatan. Bisa jadi, kehidupan kakek ini membuat kita semua merasa cemburu karena semua yang dia miliki.  
Suatu malam pergantian tahun. Sang kakek duduk termenung di depan teras rumahnya yang mewah dan indah itu. Dihadapannya terhidang segala macam kue mentega sisa dari merayakan Natal; tidak ketinggalan minuman-minuman ringan dari berbagai merek terkenal. Namun, semua itu tidak menarik minat dan perhatiannya. perhatiannya hanya tertuju pada keindahan kembang api yang menghiasi langit banyak bintang pada malam itu; Kembang api yang menandakan besarnya kebahagiaan orang-orang untuk merayakan datangnya tahun baru. Ditemani sang rembulan yang bersinar penuh pada malam itu, sang kakek merenungkan akan arti kehidupan.
Sang kakek teringat kembali pekerjaan dan proyek-proyek besar yang dilakukan pada masa mudanya. Dalam hati sang kakek berkata “ehm, ternyata untuk segala sesuatu ada masanya juga, untuk apapun di bawah langit ini ada waktunya”. Sang kakek tersadar bahwa semua keberhasilannya pada masa lalu hanya sebuah kenangan yang indah. Kembali terbayang segala sesuatu melimpah pada masa mudahnya; pengetahuannya yang tinggi, bahkan menjadi seorang teolog yang terkenal; sampai-sampai menjadi pemimpin yang dikagumi. Namun, ternyata bagi sang kakek, segala sesuatu yang dia dapatkan dalam dunia hanyalah kesia-siaan belaka. Sang kakek sekarang memikirkan sesuatu yang lebih dari suatu kebahagian duniawi yang telah dan sedang dia rasakan sekarang ini.
Sang kakek berpikir bahwa melayat ke rumah duka lebih bermanfaat, ketimbang pesta kembang api yang sedang dia saksikan. Dimasa mudanya segala pesta besar dan mengagumkan telah dia ikuti, bahkan sang kakeklah yang menjadi pusat acara. Dimasa tuanya sang kakek tersadar, ternyata hadir dalam acara kedukaan dapat membantunya untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa itu kelak; sang kakek tersadar bahwa suatu saat nanti pasti peristiwa itu akan datang menghampirinya.
Sang kakek bersyukur karena boleh menikmati lagi Tahun baru, namun bagi sang kakek tahun yang baru berarti juga pergumulan yang baru. Kembali beraktivitas dengan misteri yang baru dimasa yang akan datang. Sang kakek bersyukur atas tahun baru dan tentu saja umur yang panjang, “oleh sebab itu jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita di dalamnya…”. Namun, tahun baru dan umur panjang mengingatkan sang kakek akan suatu masa gelap, dimasa yang akan datang; disamping mengingatkan juga akan suatu masa indah yang telah disiapkan untuknya kelak.
Lama merenung dalam suasana malam tahun baru, sang kakek sampai pada sebuah kesimpulan “segala sesuatu adalah sia-sia, jika tanpa Tuhan”. Sang kakek bersyukur karena dimasa tuanya dia sempat menyadari akan hal ini. Iapun dengan senyum bahagia mencicipi kue mentega dan minuman ringan dihadapannya. Sambil berkata “selamat tahun baru” yang disambut oleh segerombolan anak kecil yang ternyata adalah cucu-cucunya.
Cerita di atas hanyalah sebuah kisah dari seorang kekek tua nan bijak, yang telah mengalami pahit-manis kehidupan. Dari penyelidikannya, sang kekek mendapati ternyata segala sesuatu di bawah matahari, sia-sia; Tidak ada yang abadi, tidak ada kesukacitaan yang sejati, dan tidak ada kebahagiaan yang tetap. Segala sesuatu ada waktunya; segala sesuatu ada masanya. Ungkapan yang cenderung terdengar pesimistis memang, namun sebenarnya merupakan refleksi dari apa yang dia lihat, dan jalani dalam kehidupannya. Ungkapan yang sebenarnya menyiapkan manusia akan suatu masa yang kelam, tapi juga menyiapkan manusia atas suatu masa yang indah. Pergumulan memang menyakitkan, tapi pergumulan adalah awal kesuksesan di masa depan. Begitu juga sebaliknya; kesuksesan memang menyenangkan, tapi menjadi awal dari pergumulan di masa yang akan datang. Nampak jelas, Sang kakek bersyukur dan mengakui akan kehidupannya yang indah. Semua yang diharapkan oleh orang di dalam dunia, dimilikinya. Namun, dari semua yang dimilikinya; toh, dia masih merasakan sesuatu yang kurang dalam hidupnya.
            Cerita di atas, sebenarnya mengingatkan kita akan singkatnya kehidupan ini. Mengingatkan kita pada segala sesuatu yang cepat berlalu; seiring berjalannya waktu. Contohnya; Masa muda, Memang indah. Tapi, cepat ataupun lambat masa itu akan berlalu: Kekuatan yang kita banggakan, pasti akan sirna. Kecantikan dan ketampanan yang kita kagumi, pasti akan luntur. Kedudukan dan kekayaan yang kita kejar dengan mengorbankan segalanya, pasti akan terbang dengan sendirinya. Semuanya akan berlalu; Seperti siang yang akan berganti malam. Generasi sekarang akan digantikan oleh  generasi berikutnya.
Cerita diatas juga mengingatkan kita akan besarnya kasih Allah. Kita patut bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bernafas, dan menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Itulah sebab sehingga kita mesti menyadari akan pentingnya kehidupan. Sangat penting, sehingga harus dijaga dengan sebaik mungkin. masakan baju yang kita sayangi; kita jaga, dan rawat dengan baik; sedangkan kehidupan kita, tidak. Bukankah kehidupan kita lebih Mahal dari baju mahal apapun di dunia ini? Baju jika sobek masih bisa diganti dengan yang baru. Tinggal ke toko baju, beres. Tinggal pilih lagi! Apalagi, zaman sekarang tidak terhitung toko-toko/ pusat perbelanjaan yang menawarkan koleksi baju yang indah-indah dan bagus-bagus. Tapi, adakah toko yang menjual kehidupan? Tidak ada. Makanya jagalah hidup pemberian Tuhan dengan baik, karena hidup sangat berharga.
Cerita di atas adalah sebuah perenungan tentang arti dan makna kehidupan. Umur bertambah; tentu juga beban semakin bertambah. Dalam pergaulan muda-mudi, banyak yang berkata “hidup hanya sekali, nikmatilah, lakukanlah apa yang disukai dan kejarlah kebahagiaan”. Perkataan ini tidaklah salah, bahkan sangat benar. Hidup hanya sekali, Nikmatilah. Tapi, kebanyakan ungkapan ini disebutkan sebagai upaya pembelaan diri untuk melakukan perbuatan yang keliru.  “Hidup itu indah, jadi nikmati dulu”. “kita kan Masih muda, bersenang-senang dahulu-lah. Ibadah? Jangan dulu. Bergaul dulu-lah”. Apakah ini kebahagiaan? Mungkin, Ia. Tapi, kebahagiaan yang hanya sesaat. Pertanyaan yang muncul: Apakah kebahagiaan hidup hanya didapat dalam tindakan-tindakan yang keliru? Maksudnya, apakah beribadah tidak bisa memberikan kebahagiaan dalam hidup? Apakah memang kebahagiaan hidup hanya terdapat di tempat-tempat hiburan malam? Sejenak. Pernahkah kita mencari kebahagiaan itu di panti werda, bersama dengan oma dan opa yang memiliki banyak pengalaman dalam hidup. Ataukah di panti asuhan bersama dengan anak-anak yang membutuhkan perhatian. Bukankah pemikiran seperti ini yang ditentang oleh sang kakek dalam cerita di atas.
Dalam kehidupan ada juga orang berkata “hidup manusia seperti roda yang berputar, kadang di atas, eh, kadang di bawah”. Maksud dari ungkapan ini; ada saat bersedih, ada saat berbahagia. Ada saat tertawa, ada saat menangis. Ada masa dimana manusia mengalami kesuksesan, ada masa keterpurukan. Ucapan ini bukankah sejalan dengan pemikiran sang kakek salam cerita diatas “segala sesuatu ada  masanya”. Sekarang di atas, besok bisa ada di bawah. Tapi bukan berarti hanya berdiam diri di rumah. Kerja donk! Jika diam saja, tetap roda tidak akan berputar. Tetap saja masih dibawah. Tahun baru! Bukankah mengajarkan kita tentang realita di atas, tahun yang lalu mungkin kita bahagia. Tapi, kita harus menyiapkan kehidupan di tahun yang baru ini. Bersiap juga menghadapi kemungkinan buruk, berada dibawah. Bukankah sang kakek juga menganjurkan kita untuk menyiapkan masa yang akan datang? Rencanakan dan berusahalah! Tapi, Allah jua-lah yang akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
            Sekarang, Tahun baru kembali menyapa kita. Marilah kita belajar dari kakek tua nan bijak dalam cerita diatas. Pernahkah kita merenung akan arti kehidupan, ataukah kita terlalu sibuk dengan segala pekerjaan dan tugas kita, tanpa ada waktu untuk duduk sejenak; merenungkan semua pekerjaan yang telah kita lakukan ditahun-tahun yang lalu. Kehidupan selalu berputar, Pandangan orangpun dapat berupa seiring berubahnya waktu. Waktu juga dapat merubah seseorang dari “zero to hero”, begitu juga sebaliknya; “hero to zero”. “Wah! Jika kehidupan seperti ini, tidak ada artinya kita berusaha”. Kata siapa? Usaha adalah jalan kesuksesan. Manusia hanya perlu sadar saja bahwa kehidupan memang seperti ini; ada saat di atas, ada saat di bawah. Manusia harus sadar akan hal ini, sehingga manusia tidak mempersalahkan Tuhan ketika diperhadapkan dengan pergumulan dan tantangan kehidupan. Begitu juga sebaliknya; tidak meninggalkan Tuhan ketika berada di puncak kehidupan. Jalanilah hidup ini, kejarlah impian. Tapi, andalkanlah Tuhan dan terimalah kehidupan yang didapat. Selamat tahun baru! Slamat merenung, dan bergumul untuk merangkai masa depan yang indah.   (FPK)

NATAL TIBA, SAATNYA BERBELANJA. LUKAS 2:1-7


Natal merupakan Istilah yang tidak asing dalam kehidupan umat percaya. Istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti “lahir”. Istilah ini, awalnya merupakan istilah kafir yang digunakan untuk menunjuk pada hari kelahiran dewa matahari. Pada tahun 336 M setelah kekristenan diakui sebagai agama Negara, istilah natal kemudian dihubungkan dengan kelahiran sang juruslamat dunia, untuk mengantikan kebiasaan menyembah dewa matahari. Maka jadilah, natal yang tadinya adalah istilah untuk memperingati hari kelahiran dewa matahari, menjadi istilah Kristen untuk memperingati hari kelahiran “matahari” kebenaran.
Natal berawal ribuan tahun yang lalu; sesuai dengan kesaksian injil Lukas_waktu itu belum dikenal istilah natal_, tepatnya pada masa kaisar Agustus memerintah kekaisaran Romawi. Ketika itu, Yusuf dan Maria melakukan perjalanan untuk menjalankan kewajiban mereka sebagai warga Negara yang baik; Mereka harus melakukan perjalanan dari Nasaret ke Betlehem untuk mendaftarkan diri sesuai dengan perintah Kaisar. Dalam situasi itulah lahir seorang bayi laki-laki; yang tentu saja sangat lucu, dan mengemaskan. Anak sulung maria dan yusuf, yang ternyata hanya dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan; karena tidak ada tempat penginapan yang kosong.
Kesaksian injil Lukas ini; menunjukkan pada kita, ternyata kelahiran sang “matahari” kebenaran terkesan sangat menyedihkan. Tidak ada kemewahan, tidak ada tempat tinggal atau penginapan; yang tentu saja tidak ada kasur empuk, dan barang-barang mewah lainnya. Yang ada hanyalah kain lampin, palungan plus kandang. Jelaslah bahwa kelahiran sang bayi tidak dipenuhi dengan kemewahan tapi keprihatinan. Namun dibalik itu; kelahiran-Nya penuh pesan, dan makna yang dalam. Inilah hari kelahiran sang bayi yang sekarang ini kita nantikan, dan rayakan ulang tahun-Nya pada tanggal 25 desember. Inilah kelahiran sang bayi yang menjadi penyelamat manusia berdosa; yang mengangkat manusia dari gelapnya dosa kepada indahnya terang Kristus.
Sekarang, ribuan tahun setelah peristiwa yang dikisahkan dalam injil Lukas; Natal menjadi hari termeriah yang dirayakan oleh orang percaya di seluruh dunia. Terdapat 2 alasan berkaitan dengan realita ini: Alasan yang pertama, Natal disadari sebagai hari kedatangan sang juruslamat dunia; Allah yang turun ke dunia menyelamatkan manusia lewat pengorbanan Kristus di kayu Salib. Alasan kedua, karena natal merupakan waktu liburan, waktu berkumpul dengan keluarga, waktu bersedekah, waktu membuat dan menikmati kue mentega, waktu menikmati makanan yang lesat, waktu untuk menghias rumah dengan pohon natal plastic (ada juga sie yang mengunakan pohon asli); dan waktunya santaclauss bangun dari tidur panjangnya (selama setahun) untuk mengunjungi anak-anak yang manis; dan memberikan hadiah-hadiah yang menarik kepada mereka. Santaclauss datang: Ada anak-anak yang begitu senang dan gembira; eh, ada juga yang menangis karena takutnya. Ada-ada saja cara orang kristen dewasa ini untuk menyemarakkan perayaan natal.
Uniknya, dari kedua alasan di atas, yang paling menarik minat orang Kristen untuk menantikan dan merayakan Natal adalah alasan yang kedua. Mau Bukti? Ketika Natal tiba, Semuanya serba baru: baju baru, mobil baru, tidak salah juga. Tapi, mudah-mudahan hatinya juga baru. Natal tiba, Semua pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh manusia yang katanya “merayakan ulang tahun sang bayi yang lahir di Betlehem ribuan tahun yang lalu”. Natal tiba, saatnya berbelanja. Natal tiba, Gedung gereja seolah tidak sanggup untuk menampung anggota jemaat yang ingin datang beribadah, sampai-sampai pelayan khusus mendapat tugas tambahan, yaitu menyediakan tempat duduk ekstra bagi anggota jemaat yang katanya “ingin menghayati makna natal”; ketika natal tiba, semua orang tiba-tiba menjadi ramah. Ketika ditemui dijalanan selalu mengembangkan senyuman dan menunjukkan keramahan; memberi tangan untuk berjabat sambil mengucapkan selamat Natal. Jika ditemui di rumah pastilah tersedia kue mentega, makanan, dan minuman; baik yang biasa maupun yang luar biasa. Natal tiba, setiap rumah Nampak indah dipandang. Dari luar, tampak mengkilap karena dindingnya baru saja dicat. Dalamnya, sangat bersih, malahan ada yang menyempatkan diri untuk membeli perabotan baru. Di sudut rumah terpasang pohon natal lengkap dengan hiasan-hiasannya dan lampu yang kerlap-kerlip. Rumah disulap menjadi indah. tidak salah juga sie, malahan sangat baik. Tapi anehnya, kegiatan dan prilaku seperti ini hanya muncul disaat bulan Desember. Seolah-olah hanya musiman saja.
Jadi, benar, bukan? natal dinantikan dan dirayakan bukan karena sang bayi yang lahir tapi karena keinginan kita untuk berpesta. Bayi yang lahir itu sebenarnya hanya alasan memuaskan keinginan kita untuk memiliki baju baru, pesta kembang api, bingkisan natal, dll. Bayi yang lahir itu, yang seharusnya menjadi pusat penghayatan, hanya menjadi symbol tanpa makna, tanpa kesan, tanpa arti dan tanpa pesan. Natal yang sebenarnya membawa manusia mengingat kembali kasih Allah dalam hidupnya, malahan meneggelamkan manusia dalam hingar bingar pesta. Natal yang sebenarnya menjadi masa perenungan bagi manusia, malahan menjadi masa yang sibuk untuk menyiapkan kue mentega dan makanan yang lesat. Kesunyian dan kesederhanaan natal berubah menjadi pesta pora, kemewahan, dan tidak jarang bermuara pada kekacauan. Natal yang seharusnya dihayati dengan penuh kesederhanaan dan keprihatinan; eh, menjadi suatu perayaan yang mewah. Natal yang sebenarnya harus diperingati dengan cara mengasihi sesama manusia yang membutuhkan; malah menjadi waktu untuk menghabiskan uang demi keperluan pribadi, keluarga dan kelompok. Natal yang sebenarnya adalah waktu merenung akan arti kehidupan; menjadi waktu untuk berpesta dan menghambur-hamburkan uang. Natal sekarang ini, hanya memenuhi kebahagiaan sesaat; tidak lagi memberikan dampak yang baik kepada orang-orang yang merayakannya. Natal sekarang ini, hanya meninggalkan beban dan masalah, bukan damai dan sejahtera.
Sebenarnya jika dipikir-pikir, tidak salah sie merayakan natal dengan pesta. Toh, uang yang digunakan milik kita pribadi. Tapi pernahkan kita bertanya apa yang diinginkan sang bayi? Ataukah kita hanya sibuk dengan keinginan kita sendiri? Sekali lagi tidak salah, tapi aneh saja. Masakan yang berhari ulang tahun harus duduk di pojok sambil memperhatikan kita merayakan ulang tahun-Nya. Masakan sang bayi yang menjadi focus utama perayaan hanya menjadi penonton dan pelengkap saja. Aneh bukan? Tapi inilah realita yang terjadi dalam penghayatan kita. Kita yang katanya “merayakan ulang tahun-Nya” tidak mau tahu dengan apa yang diinginkan oleh Dia yang berhari ulang tahun. Bagi kita yang penting keinginan tercapai, kita pun gembira, puas, plus kantong kita bocor.
Marilah kita merenung sejenak. Pernahkan kesederhanaan dan keprihatinan natal kita rasakan sekarang ini? Pernahkan damai natal membalut relung hati kita? Dan, pernahkan kesunyian natal memberikan inpirasi bagi kita untuk berbagi dengan sesama? melalui perikop pembacaan kita sekarang ini, Sejenak. Kita harus kembali memikirkan makna natal sebenarnya; menyediakan waktu untuk kembali merenungkan mengenai motivasi kita dalam menyambut dan merayakan Natal. Sebenarnya; Natal Bukan terletak pada seberapa wah kita merayakannya, tapi seberapa kuat sang bayi yang lahir dalam kesederhanaan, dan keprihatinan ribuan tahun lalu, menyentuh hati kita. Natal bukan hanya kemewahan, dan kebahagiaan, tapi natal juga adalah kesederhanaan dan keprihatinan. Natal bukan hanya tentang kita; tapi, tentang Dia yang lahir. Natal bukan hanya seberapa bahagia kita; tapi, seberapa bahagia orang lain karena kita.
Akhirnya, Slamat menyambut dan menghayati peristiwa natal. (FPK)