“Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” Matius 5:8
HATI YANG TULUS DAN PERCAYA;
ITULAH KEHIDUPAN YANG BERBAHAGIA!
By. Frany P Kuron
Orang yang ‘suci
hatinya’? Pasti kita langsung
berpikir bahwa ucapan Yesus ini ditujukan kepada orang-orang yang tanpa dosa.
Orang-orang yang hidup alim, rajin ke gereja, penatua, syamas, dan pendeta. Betul!
Tidak juga. Rajin ke gereja, penatua, syamas dan pendeta bukan berarti tidak
pernah berbuat dosa. Lupakah kita bahwa setiap orang adalah manusia berdosa dan
hidup hanya oleh anugerah Allah? Dalam Roma 3:23 dituliskan; “karena semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah”.
“Suci hatinya”
menunjuk pada hati yang terang, ikhlas, hati yang ditujukan kepada Tuhan, hati
yang percaya. Hati yang penuh dengan ketulusan untuk mengaku diri sebagai
manusia berdosa, dan datang meminta pengampunan kepada Allah. Menunjuk pada orang-orang
yang merasa dan mengaku diri sebagai orang-orang berdosa, dan hidup hanya oleh
anugerah Allah. Orang yang “suci
hatinya” adalah orang yang tulus
membagi kasih tanpa mengharapkan imbalan atau pujian.
Ucapan Yesus ini sebenarnya merupakan sebuah kritikan
terhadap mereka yang merasa diri tanpa dosa. Mereka yang merasa diri dapat
mengejar keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka sendiri; dengan
menjalankan praktek-praktek keagamaan. Pada zaman ketika Yesus berkarya di
dalam dunia, banyak orang yang merasa diri sanggup mengejar keselamatan/ kemurahan
Allah dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Mereka merasa diri memiliki
kelebihan rohani; memiliki kebenaran sejati. Mereka sangat rajin beribadah,
rajin berdoa, rajin membawa persembahan kepada Tuhan bahkan tahu banyak
mengenai Taurat Tuhan dan selalu berusaha menjalankannya. Namun, tindakan
keagamaan yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan sikap yang mereka
tunjukkan. Mereka mengganggap orang lain tidak pantas bahkan tidak mungkin
mendapatkan kemurahan Allah karena tidak mampu menunjukkan ketaatan seperti
yang mereka lakukan. Lebih parahnya lagi, motivasi mereka menjalankan
upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh pujian dan pengakuan.
Bagi Yesus, mengandalkan diri sendiri dalam mengejar
keselamatan/ kemurahan Allah adalah bentuk kesombongan rohani. Yesus tidak
menginginkan umat-Nya bagaikan buah “kadondong” yang kelihatan licin, dan mulus
di luar tapi di dalamnya penuh dengan duri; atau bagaikan sebuah gedung gereja
yang megah tapi anggota jemaatnya kurang memberi diri dalam pertemuan-pertemuan
ibadah; atau pula seperti kantor dengan gedung yang mewah namun situasi dan
keadaan di dalamnya tidak nyaman bahkan hampir bangkrut. Hanya Alim dan suci
dari penampilannya saja. Yesus tidak menginginkan kita kelihatan baik hanya
pada luarnya saja, tapi dia ingin ketulusan dari lubuk hati terdalam yang tentu
saja bermuara pada sikap hidup yang baik ketika berkarya di dalam dunia.
Ibarat mendirikan rumah, yang harus dibangun terlebih
dahulu adalah pondasinya yang kokoh, baru kemudian dipoles menjadi rumah yang
indah. Bagaimana jadinya sebuah rumah yang pondasinya dibuat asal-asalan?
Walaupun indah dipandang tapi menyimpan “bom waktu” yang siap meledak. Begitu
juga dalam kehidupan kita sebagai orang-orang percaya, yang harus dibangun
dahulu adalah ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Hati yang tulus dan
percaya! Itulah pondasi yang paling kokoh. Kemudian diwujud nyatakan lewat
sikap dan tidakan hidup yang baik dan berkenan kepada Allah.
Marilah kita sejenak merenung. Pernahkan kita merasa
bahwa memberikan persembahan adalah sebuah beban? jika pernah, hal itu terjadi
karena kita menganggap persembahan adalah sebuah kebiasaan yang harus diberikan
oleh anggota jemaat. Lebih parah lagi, jika kita memberi supaya memperoleh
pujian. Persembahan berubah menjadi beban karena dilandasi oleh motivasi yang
keliru. Motivasi yang keliru ini berdampak pada kerelaan memberikan
persembahan; yang diberikan hanya sisi-sisa dari pengeluaran keuangan selama
seminggu. Jadilah persembahan sebagai sebuah beban. Akan berbeda jika kita
memberi didasarkan pada hati yang tulus sebagai respon atas anugerah Tuhan
dalam kehidupan kita. Maka, persembahan yang kita berikan bukan menjadi sebuah
beban tapi suatu kebahagiaan; Memberikan yang terbaik kepada Tuhan bukan
memberikan sisa uang belanjaan.
Aktif dalam kegiatan gereja, rajin menyumbang di
gereja dan rajin memberikan persembahan; bahkan memberikan persembahan
persepuluhan secara rutin, itu baik! Sangat baik malah, namun bukan yang utama.
Yang terutama adalah ketulusan hati kita, kemudian tindakan yang dilakukan.
Hati yang tulus dan ikhlas untuk memberi yang terbaik kepada Allah, kemudian
bermuara pada tindakan pemberian kita.
Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian
atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan. Mengakui
sebagai manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah, itulah
kebahagiaan yang sejati.
Akhirnya, janji Allah, “berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”.
(FPK)
“Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan,
pujian atau sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan”
(FPK)
No comments:
Post a Comment