“Berbahagialah kamu, jika karena Aku
kamu dicelah dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.Bersukacitalah
dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah
dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu”. Matius 5:11-12.
AH, YANG BENAR SAJA, TUHAN!
By. Leidy Asterina Lontaan
Ucapan bahagia yang terakhir
ini mungkin paling tidak masuk akal. Orang yang berpikir rasional pasti
menganggap ini ucapan dari seorang yang tidak waras. Bagaimana mungkin orang
yang menderita ter-aniaya dapat disebut berbahagia? Ini sungguh berlawanan
dengan akal sehat. Lalu bagaimana
reaksi Anda ketika membaca ayat ini? Apakah Anda langsung berteriak, “Bodoh!” atau Anda geleng-geleng kepala,
“Yang benar saja, Tuhan!” Anda tidak
percaya? Tapi ini memang benar. Mari kita membuat ini menjadi masuk akal.
Menurut Anda, manakah yang lebih membanggakan: memperoleh
sesuatu dengan kerja keras atau dengan jalan pintas? Kalau Anda menjawab:
dengan kerja keras, berarti Anda adalah orang yang berpikir secara masuk akal.
Selanjutnya, pengalaman manakah yang menurut Anda lebih berkesan: ketika Anda
berhasil melewati suatu keadaan dengan susah payah atau di saat Anda menjalani
peristiwa-peristiwa ringan yang biasa? Kalau Anda memilih jawaban yang pertama,
berarti jalan pikiran Anda memang sangat masuk di akal. Satu pertanyaan lagi,
Anda pilih yang mana: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, atau
sebaliknya? Untuk pertanyaan yang
terakhir ini, pasti menimbulkan jawaban yang beragam, tergantung dari sudut
mana ia dipandang. Seorang pelajar yang akan mengisi kertas ujian selalu
diperhadapkan dengan pertanyaan semacam ini. Apakah ia akan menjawab soal-soal
yang mudah terlebih dahulu, atau ia akan mulai menjawab dari yang paling sulit,
baru kemudian menjawab yang mudah. Untuk setiap jawaban atas pertanyaan ini
memiliki alasannya sendiri. Tetapi kalau bicara tentang perjuangan hidup, saya
rasa banyak yang akan memilih jawaban yang pertama, bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian.
Inilah yang menjadi penghiburan bagi mereka yang
disapa berbahagia di ayat 11. Siapa
pun tahu betapa sulitnya melewati situasi yang demikian; dicela, dianiaya dan
difitnah. Tetapi Yesus memang sangat jujur dan terbuka. Ia tidak datang untuk
membuat hidup ini menjadi lebih mudah. Karena itu Ia tidak mengiming-imingi
orang dengan janji yang muluk-muluk. Secara terang-terangan Ia mengatakan
kepada mereka bahwa penganiayaan dan penderitaan merupakan konsekuensi ketaatan
mereka kepada-Nya. Orang-orang yang mendengarkan pengajaran Yesus ini mungkin
diam-diam berkata dalam hati, “Yang benar
saja, Tuhan! Sesulit itukah mengikut Engkau?”, tapi tidak ada yang berani
bersuara apalagi protes. Dan, tunggu dulu, Yesus mengatakan “berbahagialah”
untuk hal-hal yang sungguh tidak menyenangkan itu? “Ah, yang benar saja, Tuhan!”
Apakah kita masih penasaran dengan hal ini? Atau kita
mungkin sudah berkali-kali membaca ayat-ayat yang senada dengan itu? Lalu apa
yang kita lakukan? Membaca sepintas, menghayati sejenak lalu menutup Alkitab
dan melupakan ‘hal bodoh’ tersebut? Saya pun awalnya demikian. Kurang peduli.
Acuh tak acuh. Masa bodoh. Namun inilah saatnya untuk siuman. Jangan menunggu
sampai via dolorosa itu ada di depan
mata baru kita tersadar. Kita perlu menyiapkan diri agar di saat penderitaan
itu menyapa kita, kita tidak akan terkejut. Yesus sudah mengatakan hal itu
sebelumnya.
Tinggallah satu pertanyaan lagi yang begitu mengusik
hati saya. Saya yakin Anda pun sempat bertanya seperti itu. Apakah kita
betul-betul siap untuk mati bagi Kristus? Beranikah Anda menjawab “Ya!” dengan
suara lantang? Kalau benar begitu jawaban Anda, saya merasa perlu meragukannya,
sama halnya dengan saya meragukan jawaban tersebut dalam diri saya sendiri, “Yang benar saja!”. Coba seandainya kita
ada di posisi orang-orang Kristen pada abad pertama Masehi. Mereka mengalami
penderitaan yang sangat berat; dilemparkan ke kandang singa, dibakar
hidup-hidup, disayat dengan pisau, disiram dengan air panas, serta
bentuk-bentuk penyiksaan lainnya. Bahkan kaisar Nero pernah membungkus
hidup-hidup orang Kristen di suatu liang dan kemudian menyalakan liang
tersebut. Ia pernah juga mengikat orang-orang Kristen pada binatang-binatang
buas, lalu melepaskan anjing-anjing pemburunya untuk mencabik-cabik orang-orang
tersebut sampai mati. Bayangkan jika itu terjadi pada kita. Siapkah kita
menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk semacam itu? Hingga saat ini saya
pun masih terus bertanya-tanya.
Sementara
kita bergumul untuk memantapkan kesiapan kita, pernyataan Tertulianus yang
berikut kiranya menjadi bahan perenungan kita pula: Jika seorang Kristen tiba
kepada sesuatu pemilihan antara kesetiaan dan hidup, maka orang Kristen yang
sejati tidak pernah enggan dan segan untuk memilih kesetiaan. Kesetiaan memang
mahal harganya. Nyawa kita terkadang menjadi taruhannya. Namun inilah
penghiburan bagi kita yang memilih untuk tetap setia: “upahmu besar di
sorga...” Karena itu, seru Yesus,
“bersukacita dan bergembiralah!” Upah kita tidak akan diterima di dunia
ini, melainkan di kehidupan yang akan datang. Anda keberatan? Tidak mengapa.
Wajar. Toh pilihan ada di tangan
kita. Kitalah yang akan menentukan apakah kita akan berinvestasi untuk hidup kekal nanti, atau justru
tersenyum sinis, “yang benar saja, Tuhan!
Saya maunya sekarang. Hidup cuma sekali. Masakan tidak saya manfaatkan untuk
senang-senang!” Begitukah pandangan anda? Sekali lagi tidak mengapa. Semua
kembali kepada anda.
Tetapi ingat baik-baik. Kahlil Gibran pun pernah
berkata bahwa orang yang tidak pernah merasakan penderitaan tidak akan dapat
mengecap kebahagiaan. Justru penderitaan itulah jalan menuju kepada
kebahagiaan. Sebagai orang Kristen, pengalaman penderitaan merupakan suatu
kesempatan berharga untuk menunjukkan kesetiaan kita kepada Kristus. Menderita
untuk sebuah kebenaran adalah menderita secara terhormat. Karena itu mengalami
hidup dalam penderitaan sesungguhnya merupakan keikut-sertaan dalam sebuah
peristiwa besar yang mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan yang tiada tara.
Silakan bertanya kepada para pendaki gunung bagaimana perasaan mereka saat
berhasil menaklukkan puncak gunung. Pasti tidak biasa-biasa saja. Ada kegembiraan
dan kebanggaan tersendiri.
Seperti itulah sukacita dan kegembiraan Kristen.
Sebuah kebahagiaan yang khas karena kita berbahagia di tengah penderitaan dan
kesulitan hidup. Kita tidak berbahagia karena penderitaan itu sendiri. Kita
berbahagia karena pengalaman hidup menderita itu membuat kita lebih dekat
kepada penyertaan Kristus yang sejati. Kita berbahagia karena kita telah turut
ambil bagian dalam penderitaan yang pernah dialami oleh berjuta-juta orang yang
sekuat tenaga mempertahankan imannya
sampai titik darah penghabisan. Kita berbahagia karena kita sadar bahwa inilah
jalan salib yang pernah ditempuh Yesus. Berat dan sukar memang. Tapi di ujung
perjalanan ini, kemenangan itu menanti kita. Pasti. “Yang benar saja, Tuhan!” Ya, ini memang benar. Saya harap anda puas
dengan jawaban ini dan berhenti bertanya. Kini anda tahu apa yang akan anda
pilih sebagai orang Kristen yang sejati. (LAL)
“Kahlil Gibran pun pernah berkata bahwa orang yang
tidak pernah merasakan penderitaan tidak akan dapat mengecap kebahagiaan.
Justru penderitaan itulah jalan menuju kepada kebahagiaan”(LAL)
No comments:
Post a Comment