Pertama-tama,
marilah kita mencari tahu terlebih dahulu mengenai profesi gembala itu. Pada
zaman Perjanjian Lama sampai pada zaman Yesus; gembala adalah profesi yang
paling popular. Gembala bertugas mengembalakan ternak peliharaan. Namun, ternak
yang mereka gembalakan umumnya bukanlah milik mereka sendiri; Mereka hanyalah
orang-orang upahan. Mereka biasanya mengembalakan ternak gembalaannya di padang
rumput sampai berhari-hari; biasanya padang rumput yang hijau serta berair.
Mereka harus bertanggung jawab terhadap ternak gembalaannya; jika hilang,
mereka harus menggantinya.
Karena
mengembalakan kawanan ternak sampai berhari-hari, mereka harus membawa bekal
makanan, dan semacam selimut untuk menutupi tubuh mereka ketika beristirahat
pada malam hari. Untuk melindungi kawanan gembalaan mereka dari binatang buas, biasanya
mereka menggunakan tongkat; yang berguna juga untuk mengembalakan ternak
mereka. Sebagai hiburan disaat mengembalakan ternak, mereka memainkan seruling.
Selain itu, biasanya mereka berkelompok-kelompok, ini terjadi karena mereka
mencari padang rumput yang hijau dan berair. Tentu saja, tempat seperti ini
tidaklah banyak dan sulit untuk dicari. Sehingga dalam suatu padang rumput
banyak gembala yang membawa ternak mereka ke tempat itu. Kondisi inilah yang
membuat mereka saling mengenal satu sama lain, bahkan saling bersahabat. Bahasa
kerennya, mereka membentuk “Gang” para gembala atau bahasa halusnya; ya, “rukun”
para gembala.
Berkaitan
dengan status social, mereka merupakan golongan yang paling rendah dalam strata
social pada zaman itu. Mereka dianggap sebagai golongan rendahan, Hina dina,
golongan yang termiskin dalam masyarakat Yahudi. Ahli-ahli Taurat mengatakan
mereka adalah orang kafir; “mengaku
sebagai orang Yahudi, tapi tidak melaksanakan hukum Taurat”. Berkaitan
dengan kehidupan bermasyarakat; tentulah mereka sangat jarang bergaul, hal ini
bisa dimaklumi karena pekerjaan yang mereka tekuni adalah gembala; yang selama
berhari-hari mengharuskan mereka untuk tinggal di padang. Jelaslah, mereka
lebih akrab dan bergaul dengan kawanan ternak gembalaannya, ketimbang
tetangga-tetangga mereka di kampung. Ini jugalah yang menimbulkan pandangan
negative bagi para gembala, yang dianggap jorok/ kotor, tidak suka bergaul,
tertutup dan tidak tahu aturan. Bukan bermaksud membela sie. Sebenarnya, jika diteliti
lebih lanjut. Ternyata pekerjaan sebagai gembala sangat sulit. Mengapa? karena
membutuhkan tanggung jawab yang tinggi, serta pengorbanan yang besar. Mari kita
bayangkan; Mereka harus menginap untuk menjaga kawanan ternak agar tidak hilang
atau diserang binatang buas. Mereka harus menuntun kawanan ternaknya agar
mendapatkan padang yang berumput hijau. Sulit, bukan? Bahkan bisa jadi,
pekerjaan sebagai gembala, taruhannya adalah nyawa mereka sendiri. Sayangnya, pekerjaan
yang begitu berat ini. Tidak diiringi dengan upah dan penghormatan yang
setimpal dengan pekerjaan yang mereka jalani. Gembala adalah profesi yang
sangat popular pada zaman itu, tapi ternyata tidak memberikan jaminan kehidupan
yang memadai bagi mereka yang mengeluti profesi ini.
Jelaslah,
pekerjaan sebagai gembala dalam kehidupan umat Israel merupakan hal yang biasa;
itupun berlaku pada zaman Yesus. Tapi tidak dizaman kita. Sehingga kita perlu
mencari tahu bagaimana gembala itu, untuk dapat mengangkat makna dari perikop
yang kita baca ini.
Setelah
mengetahui status gembala pada zaman Yesus seperti itu, kita patut bertanya,
mengapa yang dikunjungi para malaikat dan berkunjung ke tempat bayi Yesus adalah
para gembala-gembala itu? Inilah kesaksian Injil Lukas 2:8-20; Mereka menanggapi
positif apa yang disampaikan oleh para malaikat, dan mereka pun cepat-cepat
berangkat Ke Betlehem (ayat 15,16). Setelah tiba, mereka menjumpai Maria, Yusuf
dan tentu saja sang bayi yang diberitakan malaikat kepada mereka. Sampai disini
tidak ada hal menarik yang mereka temui; tidak ada yang special. Bayi yang
lahir sama saja seperti bayi kebanyakan, malahan bisa dikatakan memprihatinkan;
sedang berbaring di dalam palungan. Bisa jadi apa yang mereka temui berbeda
dari apa yang mereka pikirkan. Mungkin mereka berpikir, yang akan mereka jumpai
adalah seorang anak yang bersinar, dan tinggal dalam istana yang sangat besar.
Tapi toh, tidaklah demikian. Namun, respon merekalah yang sungguh mengagumkan
setelah bertemu dengan sang juruslamat; Mereka tidaklah kecewa, malahan mereka
memberitahukan apa yang dikatakan para malaikat kepada mereka tentang anak ini.
mereka tidak bersungut-sungut, mereka percaya bahwa bayi itu adalah juruslamat
yang dinantikan. Akhirnya, Mereka pun kembali dengan bersuka cita dan Memuji-muji
Allah. Hebat, bukan? Kepercayaan yang sungguh terhadap wahyu yang mereka
dapatkan; walaupun mungkin, tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Ternyata
mereka dengar-dengaran, ya? Ini menandakan para gembala itu adalah orang-orang yang
rendah hati.
Coba
kita bayangkan; seandainya berita kelahiran sang juruslamat ini disampaikan
pada ahli-ahli Taurat yang menganggap diri sebagai orang benar dan suci. Apakah
mereka akan berlaku seperti yang dilakukan para gembala itu? Saya rasa tidak. Mana
mau para ahli Taurat itu disuruh-suruh/
diperintah. Lagi pula, mereka tidak akan begitu saja percaya jika juruslamat
yang dijanjikan itu terlahir hanya dibungkus dengan lampin dan berbaring dalam
palungan. Mereka menggangap bahwa juruslamat akan datang dengan kemegahan,
bukan seperti yang disaksikan oleh para gembala itu. Mungkin setelah
mendapatkan wahyu, ahli-ahli Taurat itu akan pergi juga mengunjungi (mungkin
karena terpaksa); tapi ketika mereka menemui sang bayi yang dimaksud, bisa
terbayang. Pasti mereka tidak akan menerimanya sebagai seorang juruslamat. Dan,
pastilah mereka pulang dengan bersungut-sungut. ini terbukti kok; ketika Yesus berkarya,
ahli-ahli Taurat itu tidak mengganggap Yesus sebagai seorang juruslamat. Mereka
juga yang selalu berdebat dan beradu pendapat dengan Yesus. Mereka juga kan; yang
bersekongkol untuk membunuh Yesus.
Jadi,
Mengapa para gembala? Karena mereka dengar-dengaran. Tulus melakukan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Lebih daripada itu, karena focus utama penulis
injil Lukas adalah orang miskin/ yang dianggap “sampah” masyarakat. Para
gembala yang dicap oleh ahli-ahli Taurat sebagai orang kafir karena tidak memiliki
waktu untuk menjalankan Taurat Tuhan, ternyata merekalah yang mendapatkan berita
sukacita untuk pertama kalinya; bukan mereka yang mengaku diri memiliki
kelebihan rohani. Gembala, yang berasal dari golongan rendahan ternyata menjadi
yang paling dekat dengan sang juruslamat dunia. Melalui pericop ini, Lukas juga
ingin menyampaikan kepada kita, sang juruslamat datang kepada mereka yang
malahan mengganggap diri berdosa, dan tidak sanggup memperoleh keselamatan dengan
mengandalkan kekuatan mereka sendiri. Bukan kepada mereka yang mengganggap diri
hebat; sehingga mengganggap diri dapat mengejar keselamatannya sendiri. Jelas,
bukan? Penampilan ternyata bisa menipu, dan ternyata Tuhan tidak melihat
penampilan, tapi melihat hati. Teringat sebuah lagu sekolah minggu yang
mengambarkan hal ini. Aku dan kamu sama
dimata Tuhan, tak ada yang beda, tak satu pun beda…. Jadi, Kaya-miskin, sama
dimata Tuhan.
Keberpihakkan
Lukas terhadap orang “miskin” Nampak juga ketika ia menggambarkan mengenai
kemanusiaan Yesus. Lahir dalam situasi yang memprihatinkan, Keluarga yang
sederhana; ayah tukang kayu. Ibunya, seorang ibu rumah tangga. Tidak memiliki
apa-apa dalam hidup. Dekat dengan orang miskin; orang kecil. Dan tentu saja
jauh dari gemerlapan pesta ulang tahun. Tapi sebaliknya juga, Lukas menonjolkan
ke-Tuhanan Yesus. Sang Juruslamat yang datang ke dalam dunia. Memang sie bukan membawa kebebasan dari
kemiskinan, pergumulan dan kemelaratan secara duniawi atau materi; tapi,
membawa damai sejahtera, keselamatan, serta Kehidupan yang kekal bagi orang
yang percaya.
Sekarang,
kita akan merayakan ulang tahun sang juruslamat dunia yang disaksikan oleh para
gembala ribuan tahun lalu. Pertanyaan bagi kita: Apakah kita sudah
dengar-dengaran kepada Dia? Apakah kita sudah berlaku seperti para gembala itu?
Kita kan mengaku diri sebagai Orang-orang yang beriman. Nah, apakah kita telah melakukan semua yang diperintahkan Tuhan?
Apakah kita sudah menempatkan diri di tempat yang paling dekat dengan sang
juruslamat atau sebaliknya? Jawabannya, tentu ada pada pribadi kita
masing-masing. Selamat menyambut dan menghayati peristiwa natal. (FPK)
Frany P Kuron
Salah satu
penulis
buku renungan
MAKARIO5
senin, 30 nov 2009
No comments:
Post a Comment