Pagi itu, pada sebuah pelataran rumah semi permanen;
Duduklah seorang bapak dengan santainya. Om Alo, begitulah dia sering disapa. Ditemani
kopi susu kental, dan kue pisang goroho yang digoreng tanpa terigu, buatan istri
tercinta, Om Alo menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan. Sesekali mulutnya terlihat
mengunyah pisang goreng dan meneguk kopi susu yang dihidangkan kepadanya itu.
Tidak jauh dari tempatnya duduk, terlihat anak bungsunya dengan tekun melaksanakan
tugas rutin setiap pagi; membersihkan, dan menyirami bunga-bunga yang tumbuh
indah menghiasi pekarangan. Rumah itu menjadi tampak asri dan nyaman dengan
bunga-bunga itu; Menjadi tempat yang menyenangkan untuk bersantai, memanjakan
mata dan menikmati hidup sebelum mengawali hari. jelaslah, bersantai di pagi
hari telah menjadi ritual wajib bagi Om Alo sebelum memulai pekerjaannya.
Dari tempatnya bersantai, Tampak seorang anak
berpakaian putih Merah dengan tas Hitam dipunggungnya; sambil memegang tangan
sang ibu tercinta, berjalan menuju sekolah. Nampak juga beberapa Remaja
berpakaian Putih Biru dan putih abu-abu, berkelompk-kelompok lewat di depan
pagar rumahnya. Begitu juga mobil dan motor yang tidak mau ketinggalan untuk membantu
pengendaranya beraktifitas pagi itu.
Sambil menikmati pemandangan itu, kembali om Alo meneguk
kopi susu dihadapannya yang masih sangat panas dan melahap pisang goroho goreng
dihadapannya. Burung-burung “Ringkeng” berkicau ceria menyambut datangnya sang
mentari; seolah-olah merasakan juga sukacita yang dialami oleh om Alo pada pagi
itu.
“Koran-Koran”!!!
terdengar teriakan Tukang Koran yang lewat di depan rumahnya.
“Angki”!!
Suara om Alo terdengar memanggil anak bungsunya “Coba ngana pangge akang itu tukang Koran konk ngana bili akang Koran
tare, napa itu doi… “ Angki tanpa berkata apa-apa dengan cekatan menuruti
apa yang dikatakan oleh bapaknya… Tidak berapa lama Angki kembali dengan
beberapa buah Koran yang terkenal di daerah ini. Setelah menyerahkan Koran
tersebut, Angki pun kembali menikmati pekerjaannya, membersihkan dan menyirami
bunga yang indah itu.
Tidak berapa lama, “Ado kasing, kiapa itu Burung Manguni drang somo ganti dengan burung
Pombo dank!!” Terdengar teriakkan yang spontan dari mulut om Alo ketika
membaca salah satu artikel dalam Koran itu. Kopi susu dihadapannya menjadi penenang,
tidak ketinggalan juga sepotong pisang goroho kembali masuk ke dalam mulutnya
dan langsung dikunyahnya.
Artikel Koran itu menjadi menarik bagi om Alo bahkan
membuatnya sangat kaget karena beberapa waktu yang lalu dia baru saja memberikan
seminar tentang symbol dan teologi; pada sebuah konsultasi kebudayaan diluar
daerah. Apa yang disampaikannya dalam konsultasi itu masih panas mendidih dalam
ingatannya, masih melayang kesana kemari bagaikan layangan putus dalam
pikirannya. Kesimpulan om alo dalam konsultasi itu;
“Simbol merupakan bukti Persaudaraan, symbol
membangkitkan kenangan, sejarah, ikatan dan kebersatuan. Symbol menceriminkan
jati diri dari penggunanya yang memiliki arti dan makna yang sangat dalam.
Symbol haruslah tercermin dalam setiap kehidupan penggunanya; karena Kehidupan
penggunanya adalah symbol. Bagaimana symbol akan menjadi Nampak dalam kehidupan
penggunanya jika symbol yang digunakan tidak memiliki ikatan, kenangan, dan kebersatuan
dengan penggunanya? Walaupun symbol itu dianggap memiliki makna teologis yang
dalam, tidak akan berarti apa-apa. Apa gunanya Menjadi Sangat teologis namun
tidak kontekstual. Bagiku Suatu symbol Tidak akan berarti apa-apa jika tidak
memiliki (kekuatan untuk mendorong) ikatan batin dengan penggunanya. Mengapa?
karena tidak diangkat dari kebudayaan sekitar. Bagiku, tidak ada kebudayaan
yang pada awalnya teologis, semuanya selalu diangkut dari konteks, sehingga kebudayaan
akan selalu kontekstual. Kebudayaan, selalu kontekstual. Tugas Gerejalah untuk
menjadikan kebudayaan tersebut Teologis. Bagiku, suatu symbol yang digunakan
haruslah pertama-tama kontekstual (memang begitulah adanya) yaitu mengangkat
kebudayaan; barulah kemudian diberi makna teologisnya, itupun jika symbol itu
digunakan dalam gereja {organisasi, lembaga atau gerakan berlatar belakang
agama}. Akan menjadi berbeda ketika berbicara symbol yang digunakan menjadi
logo suatu daerah atau lembaga kemasyarakatan. Ketika berbicara symbol daerah,
yang harus ditekankan adalah makna kebudayaan, Mengangkat jati diri, dan kebudayaan
daerah tersebut. Akan menjadi rancu dan membingungkan ketika kepercayaan
keagamaan dijadikan alasan untuk membuat dan mengganti symbol kedaerahan;
apalagi dengan alasan supaya teologis. Bagiku, haruslah dibedakan antara symbol
keagamaan dan symbol kedaerahan; Symbol keagamaan haruslah kontekstual, yang
sangat Teologis. Sedangkan symbol kedaerahan haruslah sangat kontekstual namun
bukan berarti tidak teologis (itupun tergantung,)”. Ingatlah, symbol
pertama-tama haruslah kontekstual kemudian mendapatkan nilai teologis.
1. Symbol
daerah tidak bisa selamanya bisa dihubungkan dengan kepercayaan Kristen.
tonjolan utama dalam sebuah symbol daerah adalah kebudayaannya yang tentunya sesuai
dengan konteks daerah tersebut. simbol daerah adalah jati diri sebuah daerah,
nampakkanlah itu, Semangatnya haruslah tercermin dalam kehidupan masyarakatnya.
2. Mengaitkan
kebudayaan dengan kepercayaan Kristen. Memang harus diakui tidak semua kebudayaan
bersesuai dengan kepercayaan Kristen, namun bukan berarti juga semua kebudayaan
adalah buruk. Kebudayaan dapat dimasukkan makna teologis untuk menjadikannya sebagai
sarana mengabarkan berita sukacita bagi banyak orang. Namun bukan berarti
memaksakan symbol yang sangat teologis, dan tidak memperhatikan konteks symbol
tersebut sehingga menjadi tidak kontekstual. Bagiku, bukan alasan yang tepat
untuk menghilangkan kebudayaan demi alasan kepercayaan Kristen. Bagiku,
kebudayaan adalah cerminan jati diri. Menghapus kebudayaan sama saja
menghilangkan jati diri yang sesuangguhnya. Menjadi asing di negeri sendiri.
3. Janganlah
meremehkan sebuah symbol. Merumuskan sebuah symbol haruslah melewati
pertimbangan yang sangat bijak dan matang. Mungkin itu juga yang dialami oleh mereka
pada waktu yang lalu, yaitu; bergumul mempertimbangkan sebuah symbol supaya
sesuai dengan jati diri daerah.
Pa…
Pa…
So boleh siap-siap staw…
Sapaan lembut tante Mike membuat Om Alo tersadar
dari lamunannya ketika mengingat kembali kesimpulannya beberapa hari yang lalu.
Om Alo melirik jam tangannya; ternyata benar, waktu sudah menunjukkan pukul 8
pagi, Kopi susu dan pisang goroho yang dihidangkan pun telah habis, pertanda sudah
waktunya bersiap-siap untuk memulai pekerjaan sebagai dosen pada salah satu Universitas
terkenal di daerahnya. Seorang professor yang sangat menaruh minat terhadap
kebudayaan Minahasa.
Sambil tante Mike membereskan gelas dan piring
tempat kopi susu dan pisang goroho, om Alo masuk ke dalam rumahnya untuk bersiap-siap.
Kesedihan melanda hati om Alo, artikel Koran yang baru saja dibacanya, merusak
sukacitanya ketika akan mengawali hari; berganti dengan perasaan sedih dan
geram. Om Alo berharapan, semoga Burung Manguni yang adalah symbol keminahasaan,
tidak akan lekang oleh waktu, dan akan selalu dipertahankan serta dihormati.
Angki,,, kase
panas akank itu oto konk antar pa papa ka kampuz ne…
kembali suara lembut tante Mike memecah kesunyiaan pagi itu. Angki pun
mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Bersambung…
No comments:
Post a Comment