Banyak orang
mungkin sering bertanya, bagaimana “kehidupan
yang berbahagia” itu? Ketika kita
tanyakan kepada seorang pemain sepak bola profesional, dia pasti akan menjawab
ketika mencetak gol, dan timnya memenangkan suatu
pertandingan besar. Bagaimana dengan jawaban seorang mahasiswa? Mungkin dia
akan menjawab ketika lulus ujian dan menjadi seorang sarjana. Lalu ketika
ditanyakan pada seorang ibu, bisa jadi dia akan menjawab ketika melihat anak-anaknya
sukses dalam hidup. Jawaban-jawaban ini mengaitkan kehidupan yang berbahagia dengan situasi yang dialami. Keadaan yang
menyenangkan, bersukacita, beruntung, perasaan senang, tenteram, bebas dari
segala yang menyusahkan bermuara pada kebahagiaan seseorang. Kebahagiaan
sesaat.
Yesus berkata,
”berbahagialah orang yang dianiaya oleh
sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Dianiaya?
Dianiaya adalah suatu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaaan bahagia.
Bagaimana mungkin orang yang dianiaya dapat berbahagia? Apakah keadaan dianiaya
bisa dikatakan “kehidupan yang berbahagia”? tidak mungkin-lah! Ucapan yang sangat aneh. Masakan
berbahagia sedangkan berada dalam suatu keadaan dianiaya. “Kehidupan yang
berbahagia” berhubungan dengan kehidupan yang menyenangkan. Oleh sebab itu,
sangat aneh jika seseorang yang berada dalam pergumulan dan penganiayaan
kemudian dikatakan berbahagia. Menurut Nietzsche (itu loh, seorang filsuf yang terkenal dengan konsepnya mengenai
“manusia super”), kekuasaan, keunggulan, kegagahan dan kecemerlangan adalah
kebahagiaan. Jadi sangat aneh baginya mengenai konsep kebahagiaan dalam
penganiayaan walaupun karena kebenaran sekalipun.
Ucapan yang aneh
memang kalau diteropong dari sudut pandang dunia. Tapi marilah kita mencari
tahu maksud ucapan Yesus ini. Dalam ucapan ini Yesus berkata “…oleh sebab kebenaran”. Pada zaman Yesus
hidup dahulu orang-orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran adalah orang-orang
yang dikasihi Allah. Mari kita membaca kesaksian 1 Petrus 3:14, “tetapi sekalipun kamu harus menderita juga
karena kebenaran, kamu akan berbahagia…”. Dikasihi Allah karena berada
dalam kebenaran, berada pada jalan hidup yang benar sesuai dengan kehendak
Tuhan, yang secara otomatis menjauhi tindakan-tindakan yang tidak berkenan di hadapan
Allah. Namun sikap dunia seringkali tidak bersahabat terhadap orang-orang yang
berpegang pada kebenaran sehingga melakukan segala hal untuk memusnahkan
kebenaran. Orang benar cenderung dimusuhi oleh dunia sehingga banyak orang
tidak mau menjadi orang benar karena tidak mau menderita di dalam dunia.
Alasan
berikutnya, kita harus menyentil ayat 11 dalam ucapan bahagia. Yesus berkata “...karena Aku”. Berbahagialah setiap orang
yang dianiaya karena iman kepercayaannya yang teguh. Mengikut Yesus, walaupun
berada dalam penderitaan dan pergumulan kehidupan. Kehidupan yang berbahagia
ternyata bukan hanya suatu keadaan yang menyenangkan tetapi bagi Yesus,
“kehidupan yang berbahagia” adalah kehidupan dalam kebenaran sehingga selalu
hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Menjadi
pengikut Kristus bukan berarti kita akan berada dalam kehidupan yang
menyenangkan; semua yang kita harapkan tercapai dan semua yang kita inginkan
terpenuhi. Yesus tidak menjanjikan kehidupan indah bagi pengikut-Nya di dalam
dunia. Yesus sendiri mencontohkan mengenai penderitaan ketika berpegang pada
kebenaran. Yesus yang tanpa dosa harus mati, bahkan dengan cara disalibkan.
Perlu diketahui, hukuman salib merupakan hukuman yang diberikan kepada
penjahat-penjahat kelas berat. Namun dengan kematian-Nya di kayu salib semua
manusia diselamatkan dari dosa.
Pergumulan juga
dialami oleh umat percaya pada abad mula-mula. Banyak penganiayaan yang mereka
hadapi ketika harus mempertahankan iman kepercayaan; mereka dianiaya dengan
cara-cara yang sangat keji. Namun toh,
kekristenan malah semakin meluas dan nama Tuhan semakin ditinggikan. Semakin dibabat,
eh, malah semakin merambat. Jelaslah
bahwa orang yang hidup dalam kebenaran pasti memperoleh tuntunan Allah. Dunia
memang memusuhi orang benar tapi Tuhan mengasihi orang benar. Jadi, mana yang
kita pilih: bersahabat dengan dunia atau bersahabat dengan Allah? Bersahabat
dengan Allah tentunya! Bagus. Tapi bersahabat dengan Allah ada konsekuensinya.
Menderita!
Marilah kita
menghayal sedikit – dikit-dikit
menghayal itu perlu juga – Bagaimana jadinya kepercayaan kita jika Yesus tidak
menderita dan mati? Apakah Dia akan bangkit ? Jika itu terjadi, maka kata
Paulus, sia-sialah pemberitaannya dan kepercayaan kita, “tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah
pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu”. Dan Bagaimana
jadinya jika gereja mula-mula tidak menderita melainkan hidup dalam banyak
kenyamanan dunia? Apakah kekristenan kita akan seperti sekarang ini ataukah
sudah mati?
Setiap umat
percaya di dalam dunia tidak akan luput dari masalah, kesukaran dan penghambatan.
Itulah yang harus dijalani, janganlah lari atau menghindar karena semakin kita
menghindar, cepat atau lambat pasti akan kita jalani. Hadapilah dan berusahalah
untuk mengatasinya sesuai dengan kehendak Tuhan, artinya berpegang pada
kebenaran.
Kebahagiaan yang
dirasakan karena suatu keadaan yang berbahagia bisa jadi merupakan kebahagiaan
yang lekang oleh waktu; seperti pelangi sehabis hujan yang hanya akan
menunjukkan keindahannya dalam waktu singkat kemudian hilang atau seperti
kupu-kupu yang sangat indah namun hanya berumur sehari. Kebahagiaan seperti ini
selalu di bayang-bayangi oleh pergumulan dan tantangan kehidupan. Maksudnya, dibalik
indahnya kebahagiaan karena umur panjang terdapat pahitnya kehidupan untuk
mengejar cita dan harapan. Dibalik manisnya cinta terdapat sakitnya putus
cinta. Maksud saya, bisa jadi kebahagiaan dalam dunia adalah awal pergumulan
dari manusia. kebahagiaan ketika lulus kuliah menjadi sarjana merupakan awal
dari pergumulan mencari pekerjaan, bergumul dengan kesibukan untuk
mempersiapkan masa depan. Kebahagiaan karena kelahiran anak yang pertama adalah
awal dari pergumulan untuk mendidik dan merawat sang anak untuk menjadi lebih
baik. Kebahagiaan hanyalah bumbu dalam kehidupan manusia. Kebahagiaan itu
datang lalu kembali pergi meninggalkan kita dengan pergumulan hidup yang baru.
Jelaslah semua manusia selalu berada dalam penderitaan dan pergumulan, tidak
bisa lari, menghindar atau bersembunyi! Kesimpulannya, orang yang bergumul
adalah orang yang berbahagia, terlebih mereka yang bergumul karena kebenaran.
Berarti ucapan Yesus “berbahagialah orang
yang dianiaya sebab kebenaran” benar, bukan?
Akhirnya,
kehidupan yang berbahagia adalah kehidupan yang berpegang dalam kebenaran dan
selalu melaksanakan kehendak Tuhan dengan hati yang tulus ketika berada dalam
pergumulan dan tantangan kehidupan.
FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24
renungan tentang kebahagiaan
2009
No comments:
Post a Comment