Suatu sore, di
pelataran rumah sederhana, tua dan hampir roboh. Duduklah seorang pria dengan
segelas kopi terhidang dihadapannya. Sore yang dingin, berangin, dan mendung;
bersiap untuk hujan. Sosok pria yang tampak sangat capek, tidak bersemangat,
dan mungkin sedang sakit. “Bulan Desember kembali menyentuh tanggal
25. Natal kembali menyapa. Dan, tanpa terasa bulan Desember segera berakhir.
Huff… Bulan yang sangat melelahkan” itulah kalimat yang terucap pelan
dari bibirnya.
Pikiran pria
itu pun melayang. Dia mengingat kembali masa pelayanan di awal bulan Desember. Ketika
ibadah-ibadah pohon terang banyak dilakukan; Baik BIPRA, kolom, rukun sosial, gebed,
P/Remaja rayon, dan pohon terang lainnya. Ketika undangan ibadah pohon terang
tidak pernah berhenti berdatangan setiap harinya. Dan, Jadwal memimpin ibadah
pohon terang, tidak ada habisnya. Jadwal yang masih diperpadat dengan memimpin
ibadah HUT jemaat, ibadah minggu, dan syukuran keluarga.
Hati pria itu berkeluh
dan mulai berkisah:
Bulan Desember;
Benar-benar sangat melelahkan dan bisa jadi menyedihkan hati. Mengapa tidak? Di
bulan Desember, aq tidak memiliki waktu untuk mengurus atau memanjakan diri;
apalagi menyediakan waktu untuk bersantai dengan keluarga. Di bulan Desember,
Anak-anakku sering bertanya, “mengapa papa sangat sibuk? Kapan ada waktu dengan
kami?” apa yang harus ku jawab. Haruskah aq mempersalahkan pelayanan ini. Panggilan
yang telah aq terima dengan segenap hati, beberapa tahun yang lalu. Sungguh,
seringkali aq merasa jenuh dengan keadaaan ini. Bukankah Aku juga hanya seorang
manusia biasa yang membutuhkan waktu untuk bersantai; Memanjakan diri, dan
membahagiakan keluargaku. Jujur, aq merindukan masa-masa dimana dapat keluar
dari rutinitas pelayanan ini. Apakah aq harus mempersalahkan jalan hidup yang
sudah kupilih ini? Bukankah dulu, aq telah diberikan banyak jalan/ kesempatan
oleh-Nya untuk memilih dan menentukan masa depanku. Memiliki kesempatan untuk
menjadi PNS, pengusaha, petani, dan anggota dewan. Toh, aq mengesampingkan
semua kesempatan itu, dan tetap teguh memilih dan menerima tugas panggilan ini;
tentu dengan segala konsekuensi yang harus ku jalani. Oh, Desember… Bagi sebagian orang menjadi hari
yang mengembirakan; karena dapat berkumpul dengan keluarga, berbagi pengalaman
dengan sesama, merayakan natal, dan keluar dari rutinitas pekerjaan. Tapi
bagiku, merupakan Desember kelabu. Justru di bulan inilah jadwal pelayananku
menjadi lebih padat, dan aq menjadi seorang yang super sibuk. Tidak ada waktu
untuk bersantai, dan berbagi dengan keluarga.
Teringat
masa-masa diawal bulan desember ini. Pagi-pagi benar aku harus mempersiapkan
diri melakukan perkunjungan, dan ibadah HUT; jika diminta keluarga/ Pelsus supaya
dilakukan perkunjungan pada pagi hari. Dan Biasanya, di bulan Desember ini
permintaan pelayanan HUT kebanyakkan pagi hari. sudah tentu, Aq harus kehilangan
waktu berharga dengan keluarga. Aq Harus keluar rumah sebelum anak-anak
terbangun dari tidur mereka, dan baru kembali ketika matahari sudah meninggi. Aq
tidak memiliki waktu untuk sekedar berucap selamat pagi; ketika mereka
terbangun dari mimpi indah mereka. Sebelum anak-anak libur sekolah dahulu, aku
baru kembali ketika anak-anak sudah berangkat sekolah. Sungguh terbayang
bagaimana sedihnya anak-anakku ketika bangun dan ke sekolah, ketika sang ayah
tidak menyambut dan mengantar mereka. Aq tidak memiliki kuasa untuk mengantar
anak-anakku bersekolah, bahkan hanya sekedar memberikan wejangan, Atau nasihat
singkat untuk berhati-hati, baik dijalan maupun disekolah. Aku sedih, namun
sungguh, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Sesampainya
dirumah dari pelayanan HUT, Aku hanya memiliki waktu sejenak untuk
beristirahat. Sekedar untuk merenggangkan otot kaki, atau memanjakan mata
dengan menonton sesuatu, atau mengisi perut atau pun membersihkan tubuh dengan
mandi. Untunglah aq dianugerahi seorang istri yang pengertian, baik dan tentu
saja cantik. Sebelum dia berangkat kantor, dia telah menyiapkan makan pagi
bagiku. Tertutup rapat di meja makan lengkap dengan perlengkapan makannya. Aku
sangat bersyukur memiliki istri sepertinya. Dia tidak pernah komplain dengan
pelayananku yang sangat padat ini. Terkadang dia mau menjadi teman curhatku
sebelum tidur. Sungguh seorang wanita yang pengertian.
Di bulan Desember
ini, Sangat jarang/ atau bahkan memang tidak pernah, kami sekeluarga duduk
bersama di meja makan ini untuk makan bersama, saling menanyakan kabar, dan
bercanda satu dengan yang lain. Aku seringkali harus “smocol” pagi jika
matahari sudah diatas kepala. Ketika istri dan anak-anakku sudah memulai
aktivitas mereka. Sekarang ini pun aku harus ditemani kursi kosong ketika
menikmati makanan lesat buatan istriku tercinta. Selesai makan, biasanya aku
sudah harus bergelut dengan buku-buku tafsiran, renungan dan tentu saja
Alkitab. Aku harus mempersiapkan khotbah untuk memimpin ibadah pohon terang, atau
menyiapkan khotbah HUT dan tentu saja ibadah minggu berjalan. Belum lagi aku
harus menyiapkan liturgi pada ibadah pohon terang dan ibadah minggu. Bahkan,
sering terjadi, aq lupa untuk makan siang. Ada kalanya makan siang nanti terpikirkan
ketika ditanyakan oleh istriku ketika dia pulang kantor pada pukul 4 sore.
Waktu makanku memang tidak teratur; kadang jika teringat dan perutku tidak mau
berkompromi dan otakku sudah memang benar-benar “blank”; baru aku beranjak dari
meja tulisku menuju meja makan, tepat jam 12 siang. Ada kalanya lewat sedikit,
tapi tidak lewat dari pukul 1 siang. Tapi, jika aku terbuai dengan khotbah yang
ku susun, tentu perutku harus bersabar dan berkompromi dengan keinginan hatiku.
Jadilah Aku makan siang pada pukul 4 sore; itu pun setelah diingatkan oleh
istriku.
Pukul 5, aq
sudah harus bersiap untuk pelayanan ibadah pohon terang. Aku hanya mempunyai
sedikit waktu untuk beristirahat. Jam 6, ibadah pohon terang sudah dimulai.
Belum lagi Ibadahnya selesai, HP ku sudah puluhan kali bergetar. Tentu aku
sudah mengetahui maksudnya, “apakah ibadahnya sudah selesai? Kami sudah banyak
terkumpul dan sudah siap untuk beribadah.” Itulah kalimat yang keluar dari HP
saat kuangkat. Terpaksa, Selesai ibadah, aq sudah harus cepat-cepat bergegas
untuk pindah ke tempat lain. Dan sama; memimpin ibadah natal. Aq tidak memiliki waktu untuk sekedar
bercerita dan mencicipi hidangan natal yang disiapkan jemaatq. Aku yakin; tentu
mereka sedih karena aq tidak tinggal lebih lama, tapi aq sangat yakin mereka
memaklumiakan hal ini. Aq berpikir, sebagai seorang pelayan aku melalaikan
percakapan dengan jemaat yang sebenarnya sangat berguna untuk mengetahui
permasalahan dan pergumulan mereka.
Hampir
setiap hari di bulan Desember, aktivitasku seperti ini. Aku baru bisa
menginjakkkan kaki di rumah tinggalku, namun kepunyaan jemaat; ketika
anak-anakku sudah kembali pulas tertidur, beristirahat dan terbuai dalam mimpi
indahnya. Aku hanya bisa menatap meraka, sambil berkata “selamat Tidur”.
“Sungguh, ayah sangat sayang kepada kalian”. Aku bersyukur karena selalu ada sosok
wanita berparas cantik yang selalu menunggu kepulanganku Bahkan, dia selalu
menghibur dan rela mendengarkan kisah pelayananku. Dialah istriku.
Teng… Teng… Teng… Teng… Teng…
Jam dinding
pada ruang tamu rumahku berbunyi 5 kali. Sudah pukul 5 sore ternyata. Tanda
bagiku untuk segera bersiap-siap melakukan pelayan perkunjungan HUT. Kebetulan
hari ini DIA yang ber-Hari Ulang Tahun meminta pelayanan perkunjungan dilakukan
pada malam. “Ada yang KITA persiapkan for mo kase pa pelayan yang sangat rajin,
jadi bekink malam jo”. itulah kalimat yang diucapkan oleh SANG OPA yang
pada hari ini berulang Tahun. Aq tidak tahu apa maksud perkataan-Nya, dan aq
pun tidak memikirkannya. Aq sudah sangat puas dengan berbagai macam bingkisan
natal yang dihadiahkan jemaat padaku. Ups… Aq harus segera bersiap,
ibadah-ibadah Pohon terang memang telah usai tapi karya pelayanan masih terus
berjalan.
Hawa dingin
masih sangat terasa, hujan pun sudah mulai turun dengan sangat derasnya. Terdengar
pelan sebuah doa dari bibir sosok pria itu; “Oh, Tuhan. Kuatkanlah aq agar
bisa menunaikan Tugas panggilan ini dengan baik. Pilihanku untuk menjadi
pelayan-Mu tentu memiliki konsekuensi; kehilangan waktu berharga dengan keluarga.
Tapi inilah pilihanku. Mampukan aq untuk menuntaskan pilihanku ini, sampai
ajalku menjemput. Satu yang kuminta pada-Mu. Temanilah anak-anak dan istriku,
buatlah mereka mengerti pelayananku ini”. Sosok pria itu segera
menghabiskan Kopi yang terhidang dihadapannya, dan dengan langkah yang berat, sosok
pria itu masuk ke dalam rumahnya; rumah sederhana, tua, dan hampir roboh.
2,28,12,201017181987
No comments:
Post a Comment