Orang yang ‘suci
hatinya’? Pasti kita langsung
berpikir bahwa ucapan Yesus ini ditunjukkan kepada orang-orang yang tanpa dosa. Orang-orang
yang hidup alim, rajin ke gereja, penatua, syamas, dan pendeta. Betul! Tidak
juga. Rajin ke gereja, penatua, syamas bahkan Pendeta, bukan
berarti tidak pernah berbuat dosa. Lupakah kita bahwa setiap orang adalah
manusia berdosa dan hidup hanya oleh anugerah Tuhan? Dalam Roma 3:23
dijelaskan “karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah”.
“Suci hatinya”
menunjuk pada hati yang terang, ikhlas, hati yang percaya. Tulus mengaku diri sebagai manusia berdosa dan datang meminta pengampunan
kepada Tuhan. Merasa dan mengaku sebagai orang berdosa dan hidup hanya oleh anugerah
Allah.
Ucapan Yesus ini sebenarnya merupakan sebuah kritikkan terhadap mereka yang merasa diri tanpa dosa, mereka
yang merasa diri dapat mengejar keselamatan dengan mengandalkan kekuatan mereka
sendiri; dengan menjalankan praktek-praktek keagamaan. Pada zaman ketika Yesus
berkarya di dalam dunia, banyak orang yang merasa diri sanggup mengejar
keselamatan/ kemurahan Allah dengan melaksanakan ritual-ritual keagamaan.
Mereka merasa diri memiliki kelebihan rohani, memiliki kebenaran sejati. Mereka
sangat rajin beribadah, rajin berdoa, rajin membawa persembahan kepada Tuhan
bahkan tahu banyak mengenai Taurat Tuhan dan selalu berusaha menjalankannya.
Namun, tindakan keagamaan yang mereka lakukan berbanding terbalik dengan sikap
yang mereka tunjukkan. Mereka mengganggap orang lain tidak pantas bahkan tidak
mungkin mendapatkan kemurahan Allah karena tidak mampu menunjukkan ketaatan
seperti yang mereka lakukan. Lebih parahnya lagi, motivasi mereka menjalankan
upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh pujian dan pengakuan.
Bagi Yesus, mengandalkan diri sendiri dalam mengejar
keselamatan/ kemurahan Allah merupakan kesombongan rohani. Orang yang “suci hatinya” adalah orang yang tulus membagi kasih tanpa mengharapkan imbalan
atau pujian. Yesus melihat bukan apa yang nampak oleh mata melainkan ketulusan
hati untuk melakukan. Semua yang dilakukan adalah respon iman, Bukan karena
kehebatan dan kekuatan diri sendiri melainkan kesadaran sebagai manusia lemah
yang selalu membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Yesus tidak menginginkan
umat-Nya bagaikan buah “kadondong” yang kelihatan licin, dan mulus di luar tapi
di dalamnya penuh dengan duri; atau bagaikan sebuah gedung gereja yang megah
tapi anggota jemaatnya kurang memberi diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah; atau
pula seperti kantor dengan gedung yang mewah namun situasi dan keadaan di
dalamnya tidak nyaman bahkan hampir bangkrut.
Yesus tidak menginginkan kita kelihatan baik hanya
pada luarnya saja, tapi dia ingin ketulusan dari lubuk hati terdalam; tentu saja bermuara pada sikap hidup yang baik di
dalam dunia. Ibarat mendirikan rumah, yang harus dibangun terlebih dahulu
adalah pondasinya yang kuat, baru kemudian
dipoles menjadi rumah yang indah. Bagaimana jadinya sebuah rumah yang
pondasinya dibuat asal-asalan? Walaupun indah dipandang tapi menyimpan “bom
waktu” yang siap meledak. Begitu juga dalam kehidupan kita sebagai orang-orang
percaya, yang harus dibangun dahulu adalah ketergantungan sepenuhnya kepada
Allah. Hati yang tulus dan percaya! Itulah pondasi yang paling kokoh.
Pernahkan kita merasa bahwa memberikan persembahan
adalah sebuah beban? jika pernah, mungkin hal itu terjadi karena kita
menganggap persembahan adalah sebuah kebiasaan yang harus diberikan anggota
jemaat; terlebih lagi memberi supaya memperoleh pujian. Persembahan kepada
Tuhan menjadi beban karena dilandasi oleh motivasi yang keliru. Kekeliruan ini
berdampak pada kerelaan memberikan persembahan; yang diberikan hanya sisi-sisa
dari pengeluaran keuangan selama seminggu. Berbeda jika persembahan yang kita
berikan didasarkan pada hati yang tulus sebagai respon atas anugerah Tuhan
dalam kehidupan kita. Maka, persembahan yang kita berikan bukan lagi menjadi
sebuah beban tapi suatu kebahagiaan. Memberikan yang terbaik kepada Tuhan bukan
memberikan sisa uang belanjaan.
Marilah kita merenung dengan hati yang tulus,
pernahkah kita mengakui bahwa kita adalah manusia yang berdosa? Pernah!
Syukurlah. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa pengakuan dosa yang tulus
dihadapan Allah dimulai dari hati yang tulus dihadapan Allah. Dimulai dari hati
yang tulus, kemudian percaya. Benar-benar menyadari bahwa kita adalah manusia
berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah bukan karena tuntutan liturgi
dalam ibadah atau tuntutan pergumulan yang berat dalam hidup, baru kita ada
waktu untuk mengaku dosa di hadapan Allah.
Aktif dalam kegiatan gereja, rajin menyumbang di
gereja dan rajin memberikan persembahan bahkan memberikan persembahan
persepuluhan secara rutin, itu baik! Sangat baik malah. Namun bukan itu yang
diinginkan Tuhan. Yang terutama adalah hati kita, kemudian tindakan yang dilakukan. Maksudnya, hati yang
tulus dan ikhlas kemudian bermuara pada tindakan yang menyenangkan Tuhan.
Ketulusan hati membawa pada pengakuan sebagai manusia berdosa dan secara sadar
menyandarkan kehidupan kepada Tuhan sebagai empunya kehidupan. Inilah kehidupan
yang berbahagia! Kebahagiaan orang percaya bukan pada kemegahan, pujian atau
sanjungan tapi ada pada kesederhanaan, keikhlasan dan ketulusan. Mengakui
sebagai manusia berdosa yang hanya hidup oleh anugerah Allah, itulah
kebahagiaan yang sejati.
Akhirnya, orang yang “suci hatinya” janji Allah, “...mereka akan melihat Allah”. Allah yang
telah berkarya, sementara berkarya dan akan terus berkarya di dunia ini.
FPK
Diterbitkan dalam makari05; 24
renungan tentang kebahagiaan
2009
No comments:
Post a Comment