(Mazmur 1:1-6)
Jalan orang
benar dan jalan orang fasik
(1)
Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
Yang
tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan
pencemooh,
(2)
tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu
siang dan malam.
(3)
Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya
pada musimnya,
Dan
yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
(4)
Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
(5)
Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman,
begitu
pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
(6)
Sebab Tuhan mengenal jalan orang benar,
Tetapi
jalan orang fasik menuju kebinasaan.
ANDA PILIH YANG MANA?
By. Leidy asterina Lontaan
Memulai perenungan ini, semoga Anda tidak keberatan
kalau saya mengajak kita untuk menyanyikan lagu ini: “Di dalam dunia ada dua jalan: lebar dan sempit; mana kau pilih?...”
Anak-anak Sekolah Minggu paling hafal dengan lagu ini. Liriknya sederhana dan
barangkali terdengar kurang menarik di telinga orang dewasa. Tetapi
sesungguhnya, lagu yang mengalir dari mulut polos anak-anak ini merupakan suatu
pernyataan sekaligus pertanyaan yang senantiasa diperhadapkan kepada kita.
Bukan hanya anak-anak yang perlu belajar memilih jalan, orang dewasa pun kadang
belum mampu menentukan jalan hidupnya, sehingga harus selalu diingatkan untuk
memilih satu di antara dua jalan yang ditawarkan oleh firman Tuhan. Jalan
apakah itu? Kita mungkin berebutan menjawab: Jalan orang benar dan jalan orang
fasik. Kalau anda menjawab persis seperti itu, berarti anda mencontek judul
yang diberikan LAI untuk Mazmur pasal 1 ini.
Tapi tunggu dulu, kita kembali dulu
pada topik perenungan kita. Berbicara tentang dua jalan, sebenarnya bukan hal
yang mengejutkan lagi. Hidup-mati; kebaikan-kejahatan; keadilan-kelaliman;
berkat-kutuk, dan sebagainya. Itu hal-hal yang umum. Setiap hari pun kita
mendengarnya. Namun memang alangkah baiknya bila kita akhirnya terkejut setelah
membaca dan merenungkan tulisan ini. Orang dewasa sering merasa mapan dengan
pemikirannya, mantap dalam keputusan yang diambilnya serta bijak dalam setiap
langkah yang ditempuhnya. Matangnya usia, pekerjaan yang menjanjikan, materi
yang memadai, jabatan yang bergengsi, terkadang dijadikan dasar untuk merasa
tidak perlu belajar lagi. Tidak perlu terkejut dengan hal-hal umum seperti itu,
apalagi belajar dari lagu anak Sekolah Minggu. Malu-maluin, kata orang Jawa. Namun inilah pernyataan paling jujur
sedunia. Hanya ada dua jalan. Dan kita tidak bisa menjalani kedua-duanya. Wajib
pilih. Hanya satu jalan saja yang harus kita pilih. Mana kau pilih? Jawaban atas pertanyaan ini adalah keputusan yang
sangat menentukan jalan hidup kita. Makna hidup sangat tergantung pada pilihan
kita. Jangan sampai kita salah pilih.
Setiap hari kita selalu
diperhadapkan pada pilihan dan pengambilan keputusan. Mulai dari yang sederhana,
seperti memilih pakaian yang akan kita kenakan, sampai pada pilihan yang
berskala dan berdampak besar, misalnya memilih pasangan hidup. Pemazmur
memperhadapkan kita pada dua pilihan besar yang terjabar dalam pilihan-pilihan
sederhana setiap hari. Mana yang akan kita pilih: menjadi orang benar atau
orang fasik? Pastinya tidak ada yang ingin menjadi orang fasik. Kalau yang
memilih berdiri di tengah banyak. Netral, tapi suam-suam kuku. Tidak punya
pendirian. Tidak ingin disebut fasik, tapi enggan menjadi orang benar. Banyak
yang seperti itu, termasuk mereka yang rajin mengikuti ibadah dan aktif dalam
pelayanan. Dari luar kelihatan saleh, tapi di dalam menyimpan kebusukan.
Munafik. Tapi kita tentu tidak akan menghakimi orang-orang seperti itu.
“Berbahagialah...”
demikian pemazmur memulai seruannya. Seruan ini mengandung nasihat yang sarat
dengan pengajaran. Pemazmur seperti berdiri di atas mimbar dan menyerukan kabar
yang melegakan kepada jemaatnya. Siapa yang tidak ingin disebut berbahagia?
Jujur saja, ini adalah dambaan setiap orang. Kebahagiaan malah sering dipandang
segala-galanya dalam hidup. Apa sih tujuan
hidup kita kalau bukan untuk meraih bahagia, demikian ungkap sebagian besar
orang. Tetapi dalam bentuk apakah sebenarnya kebahagiaan yang sejati itu?
Alangkah sayangnya bila kebahagiaan itu diletakkan
setara dengan hal-hal duniawi. Kekayaan. Kesuksesan. Kepintaran. Kekuasaan.
Kehormatan. Tentu tidak salah memperoleh semuanya itu. Yang keliru ialah ketika
hal-hal itu kita jadikan ukuran untuk sebuah kebahagiaan. Sebaliknya, sungguh
tidak adil bila kehidupan yang sarat dengan persoalan lantas dijadikan patokan
untuk ketidak-bahagiaan. Anda mungkin protes dengan pernyataan saya ini. Hidup
dengan berbagai problema, persoalan silih berganti, kegagalan demi kegagalan,
keterpurukan; apakah kehidupan yang seperti itu masih dapat dikatakan
berbahagia? Tentu tidak! Demikian jawab Anda. Yang sesungguhnya, ini hanyalah
masalah cara pandang.
Hidup yang bahagia bukanlah hidup
dengan memungkiri kenyataan. Sebaliknya, hidup bahagia itu adalah suatu
kehidupan yang realistis. Kita mengakui kenyataan yang ada. Kita menerima
setiap keadaan. Kita mengharapkan yang terbaik namun tetap bersiap untuk yang
terburuk. Sangat sederhana sekaligus rumit. Mengapa? Karena realistis menurut
ukuran duniawi berbeda dengan realistis-nya kita selaku umat yang mengaku
percaya kepada Allah.
Realistis secara duniawi cenderung
menghasilkan pandangan yang sempit. Ketika gagal, orang tidak mau berusaha
lagi. Ia berpikir bahwa hanya sebatas itulah kemampuannya. Ia tidak berani
untuk mencoba karena menganggap kegagalannya sebagai realitas paten yang tidak
bisa diubah. Ini semua nasib, tidak ada gunanya melawan, lebih baik pasrah
saja. Jelas ini bukan pandangan yang alkitabiah. Realistis secara duniawi juga
dapat menjebak orang pada perilaku hidup yang buruk tanpa merasa bersalah. It’s me. Inilah aku. Aku adalah
aku.
Berbicara tentang kebahagiaan, pandangan setiap orang
pasti berbeda-beda. Ukuran kebahagiaan itu pun beragam. Ada yang melihat
kebahagiaan berasal dari gemerlapnya harta. Ada yang memahami kebahagiaan
sebagai kesuksesan meraih impian. Dan ada pula yang menghayati kebahagiaan
ketika berada dalam situasi yang nyaman dan melegakan. Pemazmur sendiri
memandang kebahagiaan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bagi pemazmur,
orang-orang yang dikatakan berbahagia ialah orang-orang yang berani melawan
arus; bergaul dengan orang-orang berkelakuan buruk tetapi tidak ikut
berperilaku buruk. Ikan yang hidup di air asin saja tidak ikut menjadi asin. Harus
punya pendirian. Harus punya prinsip agar tidak ikut-ikutan, iko rame, kata orang Manado.
Lalu apa dasar dari pendirian kita? Tidak salah lagi,
firman Tuhan! Taurat Tuhan, menurut bahasa pemazmur. Prinsip hidup itu kita
dapat dari merenungkan firman Tuhan siang dan malam. Apa artinya ini? Bukan
membaca Alkitab secara maraton dari pagi buta sampai malam bisu. Bukan pula
membaca Alkitab seperti tukang ojek mengejar setoran, hari ini saya harus selesai membaca Kejadian sampai Maleakhi. Titik. Jangankan
sampai Maleakhi, masih di Imamat saja Anda mungkin sudah bosan. Belum lagi
selesai Tawarikh, Anda sudah garuk-garuk kepala dengan muka berkerut. Hasilnya,
Anda kecapean sendiri. Ngos-ngosan.
Membaca Alkitab tidak perlu buru-buru. Kita tidak
sedang syuting film streeping yang
kejar tayang. Tuhan juga tidak menetapkan deadline
untuk hal yang satu ini. Yang terpenting ialah, apakah kita mendapatkan
sesuatu dari bagian Alkitab yang kita baca dan renungkan atau tidak. Dan apakah
yang kita dapatkan itu benar-benar membuat kita menjadi lebih baik dari hari ke
hari, atau justru tidak berpengaruh apa-apa dalam hidup kita. Ini yang patut
dipertanyakan. Jangan-jangan mutiara itu sudah dilemparkan kepada babi. Saya
tidak memaki. Ini kenyataan. Firman Tuhan adalah seperti mutiara yang berharga.
Apa artinya jika hal berharga ini justru tidak berpengaruh apa-apa dalam
kehidupan kita? Tidak ada gunanya. Useless.
Merenungkan firman Tuhan siang dan malam semestinya
membuat kita menjadi lebih bijak, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap dan
tingkah laku kita. Itulah sebabnya begitu indah gambaran yang dipakai pemazmur,
“Ia seperti pohon yang ditanam di tepi
aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu
daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” Inilah kunci keberhasilan,
tetapi juga kunci kebahagiaan. Orang fasik tidak akan mengalami hal seperti
ini. Jalan yang mereka tempuh bermuara pada kebinasaan. Sangat kontras.
Demikianlah perbedaan antara orang benar dan orang fasik.
Kalau demikian, Anda pilih yang mana? Jalan hidup kita
akan ditentukan berangkat dari jawaban kita atas pertanyaan ini. Tentu saja
kita bebas memilih. Kebahagiaan itu adalah pilihan dan kebahagiaan kita
terletak di tangan kita sendiri. Kini saatnya mengambil keputusan. Waktu anda tidak
banyak. Sadarilah kenyataan ini dan terkejutlah: Hidup ini singkat! Tapi justru
dalam hidup yang singkat inilah kita menentukan jalan yang akan kita tempuh
selamanya. (LAL)
Bukan membaca Alkitab secara maraton dari pagi
buta sampai malam bisu. Bukan pula membaca Alkitab seperti tukang ojek mengejar
setoran, hari ini saya harus selesai membaca Kejadian sampai Maleakhi. Titik. (LAL)
No comments:
Post a Comment