Monday, May 9, 2011

Seandainya kita meninggal besok, apa yang akan kita lakukan sekarang? Pengkhotbah 7:1-4


Dalam perjalanan pulang dari sebuah acara kedukaan. Salah Seorang teman mengeluarkan sebuah pertanyaan; “seandainya kita meninggal besok, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Sebuah pertanyaan dengan nada bercanda, dan memang situasi saat itu sedang dalam keadaan bercanda. Walaupun demikian, pertanyaannya itu, cukup mengetarkan hati dan mengganggu perasaan.
Menjawab pertanyaan itu marilah kita membaca cerita sang kakek dibawah ini:
Konon, hiduplah seorang kakek yang sangat bijak, pintar dan memiliki banyak pengalaman dalam perjalanan kehidupannya. Dimasa tuanya, sang kakek tinggal di sebuah rumah yang mewah dan indah. Sang kakek Memiliki semua yang diinginkan dan diidam-idamkan oleh semua orang yang hidup, berusaha dan berkarya dalam dunia; kekayaan, kedudukan, keluarga dan penghormatan.
Pada Suatu malam yang dingin, dan langit ditutupi awal pekat; tanpa bulan dan bintang. Sang kakek duduk termenung di depan teras rumahnya yang mewah dan indah itu. Dihadapannya terhidang segala macam kue yang kelihatan sangat lesat; tidak ketinggalan minuman-minuman ringan dari berbagai merek terkenal. Namun, semua kue dan minuman ringan itu tidak menarik minat dan perhatiannya. Matanya hanya terpana ke langit tanpa bulan dan bintang malam itu. Pikirannya menerawang kembali ke masa lalu, mengingat kembali pekerjaan dan proyek-proyek besar yang dilakukan pada masa mudanya. Dalam hati sang kakek pun berujar “ ternyata untuk segala sesuatu ada masanya juga, untuk apapun di bawah langit ini ada waktunya”. Sang kakek tersadar bahwa semua keberhasilannya pada masa lalu hanya sebuah kenangan-kenangan indah. Kembali terbayang dalam ingatannya segala sesuatu melimpah pada masa mudahnya; pengetahuannya yang tinggi, bahkan menjadi seorang teolog yang terkenal; sampai-sampai menjadi pemimpin yang dikagumi. Sekarang, bagi sang kakek, semua yang dia rasakan dan dapati pada masa mudanya hanya sebuah kesia-siaan belaka. Bagi sang kakek, segala sesuatu di bawah matahari, hanyalah kesia-siaan belaka. Tidak ada yang abadi, tidak ada kesukacitaan sejati, dan tidak ada kebahagiaan yang tetap. Segala sesuatu ada waktunya; segala sesuatu ada masanya. segala sesuatu akan berlalu; seiring berjalannya waktu. Masa muda, akan berlalu; Kekuatan yang dibanggakan, akan sirna. Kecantikan dan ketampanan yang dikagumi, akan luntur. Kedudukan dan kekayaan, akan terbang dengan sendirinya. Ada saat bersedih; ada saat berbahagia. Ada saat tertawa; ada saat menangis. Ada masa dimana manusia mengalami kesuksesan; ada masa keterpurukkan. Sekarang di atas; besok bisa ada di bawah. Semuanya akan berlalu dan berganti; Seperti siang yang akan berganti malam. Generasi sekarang akan digantikan oleh  generasi berikutnya. Ungkapan-ungkapan yang terkesan putus asa. Dan mungkin, memang demikian. Namun itulah kesimpulan sang kakek.
Matanya terus memandangi langit malam itu. Seolah-olah sang kakek sedang mengagumi keindahan langit tanpa hiasan pada malam itu. terlihat sang kakek mengambil sebuah buku kecil dan pena dari saku mantelnya, kemudian mulai menulis ”nama yang harum lebih baik dari minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran. Pergi kerumah duka lebih baik dari pada kerumah pesta, karena dirumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaklah orang yang hidup memperhatikannya. Bersedih lebih baik dari pada tertawa, karena muka muram membuat hati lega. Orang yang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria”.
Bagi sang kakek Kebahagiaan apa yang tidak dia rasakan saat muda? segala pesta besar dan mengagumkan telah diikutinya, bahkan dialah yang menjadi pusat acaranya. sekarang, pada saat lanjut umurnya, sang kakek tersadar, ternyata hadir dalam acara kedukaan lebih penting dari pada menghadiri segala pesta pora dalam dunia. Peristiwa kedukaan ternyata dapat membantunya untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa itu kelak, ketika tiba gilirannya datang. Sang kakek tersadar bahwa suatu saat nanti pasti peristiwa itu akan datang menghampirinya. Rumah duka mengingatkan dia bahwa peristiwa itu adalah sebuah kepastian baginya.
Bagi sang kakek dengan menghadiri Peristiwa duka dapat mengingatkannya pada orang-orang yang dia kasihi dan cintai. Kembali hatinya berujar “Apalah gunanya air mataku ketika dia (orang yang dicintai) tidak lagi merasakan kesedihanku? Bagiku, air mata dapat berguna untuk mengobati kesedihanku. Tapi Baginya, tidaklah berarti apa-apa. Akan lebih berarti baginya, senyumanku ketika dia bisa merasakan hal itu ketimbang tangisan ketika dia tidak lagi merasakannya”. Bagi sang kakek peristiwa duka menyadarkannya akan betapa penting orang-orang disekitarnya, betapa beruntungnya dia karena dikelilingi orang-orang yang mengasihi dan mencintainya dengan Tulus. Peristiwa duka mengingatkan dia betapa berharganya mereka baginya.
Bagi sang kakek, Peristiwa duka membuatnya dapat mensyukuri kehidupan yang dijalaninya. Mawas diri dan sadar akan kefanaan kemanusiaannya. Peristiwa dukacita membuatnya Mempersiapkan diri, Dalam artian berusaha meninggalkan kenangan indah selama hidup kepada orang-orang disekitarnya. Peristiwa duka Membuatnya tersadar bahwa semua perjalanan memiliki akhir. Begitu juga perjalanan kehidupannya dalam dunia, ada akhir. Peristiwa dukacita Mengingatkannya akan kemahakuasaan Tuhan dan kemanusiaannya sebagai manusia.
Sang kakek bersyukur karena boleh menikmati masa tuanya. Hatinya tidak berhenti mengucap syukur atas umur yang panjang yang dianugerahkan Tuhan padanya. Umur panjang mengingatkannya akan suatu masa gelap dimasa yang akan datang. Disamping itu mengingatkannya akan suatu masa indah yang telah disiapkan untuknya kelak. Sang kakek sampai pada sebuah kesimpulan “segala sesuatu adalah sia-sia, jika tanpa Tuhan”. Sang kakek bersyukur karena dimasa tuanya dia sempat menyadari akan hal ini. Iapun dengan senyum bahagia mencicipi kue lesat  dan minuman ringan dihadapannya.
Tidak lama kemudian dari dalam rumahnya datang gerombolan anak kecil yang berebut duduk dipangkuannya sambil memanggil-manggil kakek kepadanya. Seorang anak yang paling besar berucap kepada sang kakek “selamat ulang tahun kakek, semoga panjang umur dan sehat selalu”.
Apakah pertanyaan diatas telah terjawab? “seandainya kita meninggal besok, apa yang akan kita lakukan sekarang?” sebenarnya pertanyaan ini muncul karena pengalaman yang baru saja dia dapat, yaitu; menghadiri acara kedukaan. Pertanyaan itu terucap karena peristiwa kedukacitaan itu baru saja menyadarkan kemanusiaannya, dan kemahakuasaan Tuhan, menyadarkannya pada keterbatasan waktu yang dimilikinya, dan menyadarkannya pada orang-orang yang mencintai dan mengasihinya.
Pertanyaan yang sebenarnya mengingatkan kita. Apakah kita sudah mempersiapkan diri dengan baik sebelum tiba waktu kita. Apakah kita terlalu sibuk mengejar impian dan keinginan kita sampai kita lupa pada orang-orang yang mencintai dan mengasihi kita. Apakah kita terlalu giat mengejar kebahagiaan duniawi sampai kita lupa akan kemahakuasaan Tuhan. Apakah kita sudah melakukan yang terbaik bagi orang-orang yang kita cintai dan kasihi.  
Apakah pertanyaannya sudah terjawab? (FPK)

No comments:

Post a Comment