Tuesday, September 4, 2012

BERBALIK ARAH, ATAU TERUS? By. Frany Kuron


 
Teganya “mereka” mengambil, mengeluarkan, dan melaksanakan kebijakan itu. Kebijakan yang sangat merugikan dan menyakiti hati “anak-anak” mereka. Harus mendaftarkan diri kembali menjadi mahasiswa, kontrak skripsi, ujian kembali, dan wisuda. Proses yang telah kami lalui 2 tahun yang lalu, mengapa sekarang harus dijalani kembali?
Muncul pertanyaan dalam diri berkaitan dengan situasi dilematis ini: Haruskah kami meninggalkan “rumah” yang membesarkan kami? Ataukah mengikuti semua kebijakan yang telah ditentukan oleh “orang tua-orang tua” kami agar dapat diterima kembali di “rumah” yang megah itu? Tentu pilihan masing-masing “anak” berbeda-beda. Sampai sekarang, banyak yang telah menemukan “rumah baru” guna berkarya dan melayani. Banyak juga yang sementara mencari “rumah baru” yang nyaman guna ditinggali. Dan, masih banyak dari kami yang merindukan dapat diterima, berkarya serta melayani dalam “rumah megah” itu. Kami rindu merasakan kembali relasi indah antara “anak” dan “orang tua” yang pernah tercipta dahulu. Sungguh ujian mental yang berat.
Kerinduan melayanilah yang mendorong kami untuk mengikuti kebijakan keliru itu. Kebijakan yang Sulit diterima, namun bagi kami, kebijakan itu harus dijalani atas nama masa depan. Sekarang, tidak ada pilihan yang lain. Waktu terus berjalan, umur kian bertambah, kesempatan pun sudah datang menyapa. Saat ini, semua jalan ditutup rapat oleh “mereka”. Dihadapan kami hanya dibukakan sebuah jalan sempit, berbatu dan ditaburi pecahan kaca. “Bola” kemudian diberikan kepada kami; Berbalik arah, atau terus? Pilihan harus diambil, dan bagi kami inilah satu-satunya jalan yang harus kami lalui atas nama masa depan. Hati kecil pun menangis, namun inilah pilihan logis yang harus kami ambil; berjalan melewati jalan sempit, berbatu dan penuh pecahan kaca dihadapan kami. Teganya “mereka” mengambil, mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan itu.
Kehilangan waktu dan dana adalah konsekuensi pilihan kami. Namun, yang paling perih, yaitu meminggirkan “suara hati” kami. Sungguh berat mengambil keputusan untuk “melangkahkan kaki” melewati jalan ini! Namun sekali lagi, atas nama masa depan, harus dilalui.
Menyesali pilihan masa lalu tentu tidaklah bijak. Secara pribadi, tidak ada sedikit pun penyesalan menyelesaikan studi dibawa naungan UKIT YPTK. Banyak hal indah dan patut dikenang selama study di fakultas Teologi UKIT YPTK. Menyesali kebijakan keliru sebuah institusi juga tidak akan merubah situasi. Namun yang pasti, kebijakan keliru selamanya tidak akan berdampak baik. Ya… biarlah ini terus berproses. Bahasa teologisnya, bahasa pembelaannya, dan sekedar menjadi penawar luka; “ada maksud Tuhan dibalik situasi ini”. Semoga dari situasi ini, banyak hal yang dapat dipelajari untuk masa yang akan datang:( Semoga. (Ton,0309212,fpk)

  

No comments:

Post a Comment