Terpampang dihadapanku Suasana rumah yang sangat asri
dan nyaman; Rumah tua namun terawat. Taman bunganya, ditata dengan rapi nan
indah. Memasuki ruang tamu dari rumah ini, nampaklah perhargaan dan
ucapan-ucapan terima kasih bertebaran disana-sini. Foto-foto ukuran besar dan
kecil juga banyak menghiasi dinding rumah ini. Kesan yang kudapat ketika berada
dalam rumah ini; rumah ini dihuni oleh keluarga yang hidup dalam kesederhanaan.
Tepatnya, keluarga yang memilih hidup dalam kesederhanaan. Karena jika keluarga
ini menginginkan untuk hidup dalam kemewahan, pasti keinginan itu tidak sulit untuk
diwujudkan. Hidup sederhana menjadi pilihan keluarga ini untuk memaknai
anugerah Tuhan dalam kehidupan mereka.
Tidak berapa lama… Terdengar olehku percakapan santai
antara seorang kakek, dengan seorang anak muda yang baru lulus menjadi seorang
sarjana Teologi. Rambut sang kakek sudah beruban namun masih nampak sangat
enerjik. Sang kakek inilah yang empunya rumah tua nan indah ini. sang kakek itu
adalah dosenq. Anak muda itu adalah mahasiswanya, temanku. Bisa jadi kami
memiliki pergumulan yang sama, yaitu; sedang berada pada persimpangan jalan
untuk menentukan kehidupan di masa yang akan datang.
Terdengar sang kakek mulai berkisah:
“Pelayan; itulah aq ketika memilih menjadi seorang
pendeta. Melayani; itulah tugasku. Jika yang ku layani berkenan memberikan
ucapan terima kasih, aq pun sangat bersyukur. Jika tidak, tetaplah aq bersyukur
karena melayani memang merupakan tugasku sebagai seorang pelayan”.
“Belajar dari pengalamanku; apa yang didapat dari
pelayanan sampai kapan pun tidak akan bisa mencukupi kehidupan keluargaq.
Memang jika hanya untuk diriq sendiri, aq merasa yang kudapatkan lebih dari
cukup. Namun jika sudah ditambah dengan keluargaku; istri dan anak-anakku, semua
belumlah cukup. Pertanyaannya, apakah aku hanya berpasrah diri dan berdiam diri
saja menerima keadaan ini? sejak awal, bahkan sebelum aq memilih hidup menjadi
seorang pendeta. Aq sadar bahwa pilihanq ini tidak akan pernah bisa mencukupi
kebutuhan keluargaq, dan aq pun tidak berharap lebih dalam karya pelayananq. Disatu
sisi aku benar-benar tulus dalam mengabdi pada-Nya yang telah banyak
melimpahkan berkat bagiq dan keluargaq. Tapi disisi lain aq tidak ingin hidup
dalam ketidak cukupan. Yang pasti aku akan tetap melakukan tugas pelayananq dengan
penuh ketulusan hati namun aq pun akan terus berusaha agar keluargaq tidak
berkekurangan”.
“sekarang, masaq telah lewat. Aq bahagia dengan
pilihanq 60 tahun yang lalu. Sekarang, giliranmu yang masih muda untuk
berkarya. Kamu sekarang diperhadapkan pada sebuah “pertigaan” kehidupan. Waktunya
bagimu untuk memilih masa depanmu. Namun ingatlah bahwa semua pilihanmu saat
ini tentu ada akibat yang harus kamu jalani. Kamu telah dipersiapkan dan
ditempah dengan baik untuk menjadi seorang pelayan; dalam hal ini sebagai
pendeta. Sekarang, saatnya kamu memilih; apakah tetap melangkah menjadi seorang
pelayan atau bekerja dan berkarya dibidang yang lain? Pilihan ada ditanganmu. Namun
ingatlah, setiap pilihan ada akibat yang harus kamu jalani. Jika tetap bertahan
untuk menjadi pelayan; Persiapkanlah dirimu untuk benar-benar tulus melayani
tanpa mengharapkan imbalan. janganlah
berharap lebih dari pelayananmu, malahan kamu harus bersedia mengorbankan
banyak hal yang kamu miliki demi pelayananmu. Namun janganlah juga pelayanan
membuatmu pasrah pada keadaan dan membuatmu menerima kehidupan yang tidak
berkecukupan”.
“Untuk saat ini, persiapkanlah dirimu dengan baik.
Banyak potensi di sekitarmu dan banyak potensi dalam dirimu. Belajarlah melihat
potensi yang ada disekitarmu untuk kemudian diolah sebagai tempat mencukupkan
kehidupan keluargamu dalam karya pelayananmu. Dan belajarlah untuk
mengembangkan potensi besar yang tersimpan dalam dirimu yang bisa jadi akan berguna
ketika kamu telah benar-benar memilih jalan kehidupanmu”.
“Memilih menjadi seorang pelayan, memiliki beban tugas
yang berat. Melayani lebih banyak mengunakan hati. Di kampus kamu dituntut
untuk kritis terhadap segala sesuatu namun ketika berada dalam dunia pelayanan,
kamu dituntun untuk seimbang mengunakan
perasaan dan kecerdasanmu. Seorang pelayan dituntut untuk mengerti perasaan
orang lain. Seorang pelayan hanya bisa memendam pergumulan dan permasalahan
yang dihadapinya. Seorang pelayan harus tetap bersikap ramah, walaupun
terkadang hatinya terasa pedih”.
Nampak olehq; anak muda itu, temanq, hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Yang kuyakin sebagai tanda bahwa anak muda
itu mengerti dengan apa yang diucapkan oleh kakek tua itu.
“pa, so boleh
ba siap-siap stow? Bilank ada pelayanan ini jam 7, skarang so jam 6 noe”. Suara ini menyadarkan aq dari kenanganq 5 tahun lalu.
Waktunya bersiap-siap untuk melayani. Sekarank aq sudah memilih jalan
kehidupanq. memilih untuk memberi diri dalam pelayanan gereja. Namun, peristiwa
yang terjadi secara “kebetulan” 5 tahun lalu tetap akan terus tergiang dalam
ingatanku. Dan, pasti akan ku praktekkan J
No comments:
Post a Comment