Sore ini. Aku menginjakkan kaki di bandara
internasional Juanda, Surabaya. Pengalaman indah dan berharga kembali tergambar
dalam lembar kehidupanq. Setelah pengambilan bagasi, kami pun langsung bergegas
meninggalkan bandara Juanda menuju kota Batu mengunakan bus pariwisata yang
mewah, ber-AC dan sangat nyaman.
Dalam perjalanan ini, awalnya aq terkagum-kagum dengan
fasilitas jalan yang kami lalui; terutama Jalan tolnya. Namun, selang beberapa
menit kemudian, mulai kelihatan “asli”nya kehidupan kota besar. Dikejauhan,
mulai nampak pemukiman padat penduduk yang “memprihatinkan”. Di bawah jalan tol
yang kami lalui, “tersembunyi” pemukiman penduduk yang “bersesak-sesakkan” satu
dengan yang lainnya. Perjalanan ini memperlihatkan 2 sisi berbeda; Kemewahan
dan kemegahan, kemiskinan dan keterbatasan. 2 sisi kehidupan yang seolah-olah
telah menjadi ciri khas kota besar di Indonesia.
Setelah 1 jam lebih dalam perjalanan, sampailah kami
di lokasi yang beberapa waktu lalu; bahkan sampai sekarang pun, masih menjadi
berita hangat media-media nasional. Yup, luapan lumpur Lapindo. Terlihat jelas tanggul
raksasa dibangun di sisi kiri jalan raya Sidoarjo-Porong-Gempol ini. Menurut
informasi, setiap tahun tanggul ini dibangun semakin tinggi; sesuai dengan bertambahnya
luapan lumpur Lapindo. Daerah yang kami lewati ini benar-benar menggambarkan
sebuah daerah bencana, sebuah bencana besar yang sangat memprihatinkan. Sekilas
daerah ini terlihat seperti kota mati. Rumah tinggal maupun tempat-tempat usaha
yang berada di daerah ini nampak kosong, padahal jika diperhatikan rumah-rumah
itu masih sangat layak untuk ditinggali.
Ada hal unik dibalik bencana lumpur ini. Tanggul yang
besar dan luapan lumpur yang tidak mau berhenti, oleh sebagian orang dijadikan
sebagai mata pencahariaan. Memang. Kenyataanya, lumpur Lapindo telah menjadi “primadona”
untuk dikunjungi sejak pemberitaan besar-besaran media nasional mengenai
bencana luapan lumpur ini di waktu yang lalu. Banyak orang ingin datang dan menyaksikan
dari dekat luapan lumpur ini. jujur, aq sendiri sangat ingin berkunjung ke
tempat ini hanya untuk menyaksikan langsung luapan lumpur Lapindo ini. Bagiku,
Sungguh Ironis; tempat bencana menjadi tempat “wisata”. Namun, itulah yang
terjadi.
Perasaan ini sungguh tersentuh menyaksikan penduduk Sidoarjo,
Porong dan Gempol berjuang hidup ditengah-tengah bencana lumpur Lapindo. Rumah-rumah
penduduk yang tak bertuan, dan tanggul raksasa yang berdiri megah itu, menjadi
symbol beratnya pergumulan yang dihadapi penduduk Sidoarjo, porong, Gempol ini.
Hati ini tidak henti-hentinya menaikkan ucapan syukur
pada-Nya; Selain atas kesempatan, perjalanan, dan pengalaman menginjakkan kaki
di daerah yang baru; juga karena bisa tinggal dan menetap di daerah yang sejuk,
subur, dan nyaman, yaitu; Minahasa.
Menyusuri jalan raya Sidoarjo-Porong-Gempol, pemandangan
yang lebih memiriskan lagi terpampang jelas di hadapanku. Tidak lagi
berhubungan dengan luapan lumpur Lapindo melainkan perjuangan manusia mempertahankan
kehidupannya. Dari bus yang kami tumpangi, terpampang “drama” kehidupan yang
memprihatinkan. Dari tempat dudukku yang nyaman ini, nampak 2 orang bapak yang
mengangkat sayur-sayuran dengan susah payah. Sayur-sayuran itu terjatuh, dan
berhamburan di jalan raya. Yang memiriskan tidak ada yang memperdulikan
kejadian itu; tidak ada yang menawarkan apalagi memberikan bantuan. Beberapa
waktu kemudian, terlihat juga seorang ibu yang mengendong anaknya yang masih
balita. Dengan muka memelas, sang ibu meminta-minta di jalan raya ini. Beberapa
ratus meter kemudian, terlihat olehku seorang bapak yang bongkok, tidak berpakaian,
tersenyum getir mengharapkan belas kasihan pengguna jalan. Tidak jauh dari sang
bapak yang bongkok, seorang penjual air mineral terlihat bahagia ketika
jualannya laku terjual seharga 4 ribu rupiah. Beberapa meter kemudian kembali nampak
seorang ibu dengan anaknya mengharapkan belas kasihan orang. Apa yang mereka lakukan
dan perjuangkan; Berpanas-panasan, bermandikan debu, dan membahayakan jiwa,
tidaklah sebanding dengan apa yang mereka peroleh. Teryata….Di tengah-tengah
jalan raya yang semberawut, penuh kemacetan, padat, dan berdebu ini,
tersembunyi kisah perjuangan yang berat dari anak manusia untuk mempertahankan
kehidupan. Hati kecil ini pun berujar;”oh
Tuhan, sebegini menakutkankah hidup di tengah-tengah dunia ini”?.
Semakin lama perjalanan ini, nuansa pedesaan mulai
menjemput. Hamparan sawah yang berada di antara perumahan penduduk, sedikit menyejukkan
suasana dan perasaan ini. Pemandangan ini mulai menenangkan jiwa. Jalanan yang
kami lalui mulai menanjak, jalan dan perumahan yang padat, semberawut dan tidak
teratur, mulai digantikan dengan suasana pedesaan yang menyejukkan hati dan jiwa.
Mentari pun mulai kelelahan memancarkan sinarnya, bersiap untuk masuk dalam
peraduannya. Sebuah tanda bahwa malam kan segera menjelang.
Ketika mentari sudah benar-benar terbuai dalam
peraduannya, sampailah kami di kota Batu. Terpampang sebuah tulisan yang sangat
besar, Kota wisata Batu. Udaranya sejuk. Pemandangan alamnya mempesona. Sekilas,
menurut penilaianku, kota batu memang layak menyebut dirinya sebagai kota wisata.
Kota yang sejuk, indah dan mempesona. Jalanannya pun tertata dengan rapi. Tidak
nampak kejadian-kejadian memprihatinkan seperti yang kusaksikan ketika melewati
jalan raya Sidoarjo-Porong-Gempol. Penduduk kota batu nampak lebih sejahtera. Memasuki
Kota Batu mengingatkanku pada kota Tomohon; tempat dimana aq menghabiskan 6
tahun kehidupanku untuk kuliah memperjuangkan masa depan. Suasananya, kesejukkannya;
sungguh sangat mirip. Namun, berkaitan dengan sarana dan prasarana public, kota
Batu beberapa langkah lebih maju dari kota Tomohon.
Akhirnya. 3 jam lebih dalam perjalanan darat Juanda-Kota
Batu mengunakan bus pariwisata yang mewah, ber-AC, dan sangat nyaman ini, banyak
pelajaran dan pengalaman menyentuh hati yang kuperolah. Pelajaran dan
pengalaman ini memunculkan refleksi hidup dan ucapan syukur dalam diri ini.
Dapat menyaksikan Bencana besar yang merenggut harta dan Kenyamanan kehidupan,
membawa perenungan dalam diri betapa beruntungnya aq yang hidup, menetap dan
memperjuangkan kehidupan di tanah yang kaya; Minahasa. Menyaksikan perjuangan
“mereka” ditengah-tengah kesemberawutan jalan raya Sidoarjo, Porong, Gempol,
membawa ucapan syukur dalam diri atas
apa yang telah kualami dan kumiliki sekarang ini. Bisa merasakan kesejukkan dan
kenyamanan kota batu, bagiku merupakan sebuah pengalaman yang tak akan
terlupakan. Realita-realita kehidupan yang kusaksikan selama perjalanan dari
bandara internasional Juanda ke kota Batu, setidaknya memberikan motivasi
bagiku untuk terus berusaha mengejar masa depan yang lebih baik. Selain itu, membuatku
belajar lebih peka melihat kesulitan sesama. Dan tentu saja, selalu mengucap
syukur atas apa yang kuperoleh dan kumiliki saat ini. (FPK)
Sebuah catatan “memiriskan” dari perjalananku
yang membahagiakan. ty God :-)
Batu, 10 -13 Oktober 11