Friday, March 25, 2011

WISUDA DAN UKIT


Sungguh tidak sampai hati aku mengecewakan ke-dua orang tuaq yang sangat menginginkan anak mereka memakai toga wisuda. Keinginan diriku untuk tidak mengikuti wisuda S1 tidak bisa mengalahkan keinginanku untuk membuat mereka tersenyum bahagia ketika melihat anak mereka memakai toga  wisuda. memank, terkesan bodoh ketika seseorang tidak mengikuti wisuda. Tapi, aq memiliki  pertimbangan dan alasan yang jelas sehingga hal bodoh itu ingin kulakukan. Alasan pertama: Situasi kampus yang “aneh”, suram dan tanpa warna. Sungguh, permasalahan yang terjadi selama hampir 6 tahun ini dalam lembaga UKIT tercinta telah menguras segala energy dan pemikiran semua orang yang terhimpun di dalamnya; baik para pendidik dan yang dididik. kedua; Jadwal wisuda yang kurang jelas. Tidak adanya kordinasikan yang  baik antara penyelenggara wisuda dengan yang akan menjadi peserta wisuda. muncul kesan wisudanya hanya asal jadi. buktinya, 2 hari sebelum wisuda, tidak ada tanda-tanda akan diadakannya wisuda bahkan pengumuman mengenai segala sesuatu berkaitan dengan wisuda, tidak ada. Semua yang akan mengikuti wisuda berada dalam ketidak pastian. Alasan ketiga, mahalnya biaya wisuda. Jelas permasalahan UKIT berdampak pada mahalnya biaya studi di UKIT. Semuanya serba naik, termasuk biaya wisuda. Karena permasalahan UKIT yang tak kunjung usai, semua biaya operasional UKIT semua diembankan pada mahasiswanya. Untuk mengikuti wisuda tahun ini harus mengeluarkan biaya 1 juta sebagai biaya pendaftaran. Ini diluar pas foto yang harus dimasukkan guna keperluan pembuatan ijasah. Sewa toga.Transportasi untuk orang tua. Dalam posisiku, sangat malu untuk meminta uang pada orang tua. Terlalu banyak yang telah mereka keluarkan guna pendidikanq di UKIT sedangkan aku belum bisa memberikan apa-apa kepada mereka.
            Mengapa jadi ikut wisuda? Alasan pertama adalah orang tua. Aq Ingin membahagiakan mereka. Mungkin inilah yang dapat aq memberikan untuk menciptakan senyuman indah diwajah mereka. Alasan kedua; Apa gunanya sarjana tanpa bukti? Wisuda menjadi bukti bahwa aku telah berhasil menyelesaikan studyku; study yang kulewati dengan penuh perjuangan dan pergumulan, bahkan harus mengorbankan banyak hal demi menyelesaikannya. Alasan berikut; untuk mengalahkan ke”ego”an yang ada dalam diriku. Mengalahkan bisikan yang menjerumuskan. Bisikan yang selalu menyuruhku untuk tidak mengikuti wisuda yang didorong atas dasar kekecewaan belaka dan e”ego”an seorang manusia. Dengan mengikuti wisuda aku merasa mengambil sebuah keputusan yang tepat. Wisuda merupakan sebuah keharusan. Wisuda, bagi mahasiswa merupakan suatu kebanggaan dan pencapaian tertinggi dalam hidup. Bagi orang tua, penghormatan atas sebuah kerja keras yang bermuara pada keharuan “qt pe anak so wisuda, sarjana”. Bagi UKIT, sebuah symbol kualitas dan kemegahan lembaga. Oleh sebab itu sudah sepantasnyalah wisuda diikuti dan disisi lain; ditata, diatur dan dikemas dengan baik. Memunculkan kesan dan kenangan indah bagi para wisudawan serta orang tua yang hadir dan memunculkan pertunjukkan menarik dari UKIT untuk masyarakat.
Secara pribadi, inilah akhir dari perjalananku di lembaga perguruan tinggi swasta tertua di SULUT ini. Aku menyelesaikan sebuah lukisan kehidupanku dengan baik. Lukisan ini telah selesai dan sempurna dengan aku mengikuti wisuda ini. Waktunya untuk memulai sebuah lukisan yang baru dalam hidup. Aku bangga menjadi alumni UKIT; pribadi dan karakterku terbentuk di lembaga ini. Aku mendapatkan keluarga di tempat ini; orang tua, sahabat dan saudara. Banyak Kenangan indah tergores di tempat ini. Berawal dari rasa berdabar dan terpesona ketika pertama kali menginjakkan kaki di UKIT dan diakhir dengan rasa kecewa karena permasalahan UKIT. Aku tidak akan seperti ini, dan tidak akan mengenal “mereka”, kalau aku tidak masuk dan kuliah di UKIT.
Permasalahan UKIT dalam kenyataannya tidak akan membuat UKIT maju, malahan sangat jelas akan membuat UKIT semakin terpuruk. Dalam permasalahan UKIT; Tidak ada yang menang dan kalah, tidak ada yang masuk dalam arak-arakan perjuangan dan yang tidak; semuanya berjuang, tentu dengan cara dan keyakinannya masing-masing, tujuannya; UKIT kembali bersatu. Tidak ada yang YPTK dan Wenas; yang ada hanya UKIT tercinta. Tidak ada yang diuntungkan dan dirugikan; dalam kenyataannya, semuanya merugi akibat masalah ini.
Harapanku; Semoga UKIT kedepan dapat lebih maju. Benahilah dahulu ke dalam, kemudian tunjukan kualitas UKIT keluar lewat pengelolaan dan proses pembelajaran yang berkualitas. Selama permasalahan UKIT belum selesai, UKIT hanya tetap akan menjadi “Universitaskah itu?” dan tidak akan pernah menjadi “Universitas Kristen Indonesia Tomohon”.

Rabu 2 Maret 2011

1 comment:

  1. ukit.... tak kan lagi seperti dulu, seperti pertama kali kita menginjakan kaki di sana. begitu banyak hal berubah.. dan nampak dalam kekecewaan. perasaan gelisah pun bercampur aduk.. khawatir kalau-kalau tidak ada jaminan masa depan di sana. wajarlah kita bersedih dan meratap, seolah-olah ingin memberontak.. kapankah semua ini selesai? kita mendapat gelar dari sebuah lembaga yang semakin tenggelam, yang keberadaannya semakin dilupakan. seolah-olah kita berpikir, untuk apa lagi kita berjuang demi UKIT? sungguh perasaan yang tak menentu ada di sana. tapi, saya sebagai alumni UKIT yg jg sementara study lanjut, berusaha melihat persoalan itu dengan seobjektif mungkin. dimana lagi kita mendapatkan kekeluargaan yang masih kuat, atau setidaknya kita boleh mempraktekan nilai-nilai yang telah kita temukan dalam kelas.
    karena buah-buah hikmat itu tidak diukur ketika kita mendapat nilai tertinggi, ataupun fasih berbicara dalam kelas. tapi, ketika kita mampu bertindak terhadapnya, itu suatu kebanggaan. jujur, saya sedih dengan fenomena yang terjadi baru2 ini. begitu banyak yang berpaling, mereka kakak-kakak kita. yang telah lulus dengan baik, telah diwisudah dengan ijasah yang bertuliskan YPTK. tapi bulan depan, mereka harus ujian kembali. harus membayar 7 juta rupiah hanya untuk mengganti label dengan tulisan Yayasan A.Z.R. Wenas. semua itu dilakukan karena mereka ingin diterima sebagai Vicaris Pendeta. mengapa saya bersedih? karena tidak hentinya saya berpikir bahwa nilai perjuangan saya bisa di hitung dengan uang. bahwa masa depan saya harus di ukur dengan nominal. apakah pantas hal itu terjadi? tidak dan sekali lagi tidak. GMIM bukan penentu masa depan kita. bukan pula penghalang bagi kita untuk menjadi Pendeta. saya malah risih melihat bangunan yang megah itu. yang melahirkan "pendeta-pendeta instan", yang tak tau cara berteologi. ketahuilah, ketika kita menjadi saluran hikmat bagi orang lain, di mana saja, dan kapan saja... disanalah kita diakui sebagai seorang pendeta. tak perlu memakai stola dan jubah berwarna hitam. tak perlu memakai gelar yang di singkat Pdt, karena nilai itu telah ada dalam hati kita yang bisa menjadi berkat bagi yang lain. ataupun ketika kita berharap mendapatkan gelar tersebut, setidaknya itu bukan dari GMIM.

    sediki curhat dan masukan untukmu.. mas
    MEIFIRA.

    ReplyDelete