Teganya “mereka”
mengambil, mengeluarkan, dan melaksanakan kebijakan itu. Kebijakan yang sangat
merugikan dan menyakiti hati “anak-anak” mereka. Harus mendaftarkan diri
kembali menjadi mahasiswa, kontrak skripsi, ujian kembali, dan wisuda. Proses yang
telah kami lalui 2 tahun yang lalu, mengapa sekarang harus dijalani kembali?
Muncul pertanyaan
dalam diri berkaitan dengan situasi dilematis ini: Haruskah kami meninggalkan “rumah”
yang membesarkan kami? Ataukah mengikuti semua kebijakan yang telah ditentukan
oleh “orang tua-orang tua” kami agar dapat diterima kembali di “rumah” yang
megah itu? Tentu pilihan masing-masing “anak” berbeda-beda. Sampai sekarang,
banyak yang telah menemukan “rumah baru” guna berkarya dan melayani. Banyak
juga yang sementara mencari “rumah baru” yang nyaman guna ditinggali. Dan, masih
banyak dari kami yang merindukan dapat diterima, berkarya serta melayani dalam “rumah
megah” itu. Kami rindu merasakan kembali relasi indah antara “anak” dan “orang
tua” yang pernah tercipta dahulu. Sungguh ujian mental yang berat.
Kerinduan melayanilah
yang mendorong kami untuk mengikuti kebijakan keliru itu. Kebijakan yang Sulit
diterima, namun bagi kami, kebijakan itu harus dijalani atas nama masa depan. Sekarang,
tidak ada pilihan yang lain. Waktu terus berjalan, umur kian bertambah,
kesempatan pun sudah datang menyapa. Saat ini, semua jalan ditutup rapat oleh
“mereka”. Dihadapan kami hanya dibukakan sebuah jalan sempit, berbatu dan
ditaburi pecahan kaca. “Bola” kemudian diberikan kepada kami; Berbalik arah,
atau terus? Pilihan harus diambil, dan bagi kami inilah satu-satunya jalan yang
harus kami lalui atas nama masa depan. Hati kecil pun menangis, namun inilah
pilihan logis yang harus kami ambil; berjalan melewati jalan sempit, berbatu
dan penuh pecahan kaca dihadapan kami. Teganya “mereka” mengambil, mengeluarkan
dan melaksanakan kebijakan itu.
Kehilangan waktu dan
dana adalah konsekuensi pilihan kami. Namun, yang paling perih, yaitu
meminggirkan “suara hati” kami. Sungguh berat mengambil keputusan untuk “melangkahkan
kaki” melewati jalan ini! Namun sekali lagi, atas nama masa depan, harus
dilalui.
Menyesali pilihan
masa lalu tentu tidaklah bijak. Secara pribadi, tidak ada sedikit pun
penyesalan menyelesaikan studi dibawa naungan UKIT YPTK. Banyak hal indah dan
patut dikenang selama study di fakultas Teologi UKIT YPTK. Menyesali kebijakan keliru
sebuah institusi juga tidak akan merubah situasi. Namun yang pasti, kebijakan
keliru selamanya tidak akan berdampak baik. Ya… biarlah ini terus berproses.
Bahasa teologisnya, bahasa pembelaannya, dan sekedar menjadi penawar luka; “ada
maksud Tuhan dibalik situasi ini”. Semoga dari situasi ini, banyak hal yang
dapat dipelajari untuk masa yang akan datang:( Semoga. (Ton,0309212,fpk)
No comments:
Post a Comment